Jumat, 30 Januari 2009

Mendiskusikan 5 Masalah Dalam Studi Alqur'an


1. Al-Qur’an sebagai kitab Allah, sejak awal mendapat kritik yang memprihatinkan, terutama terhadap eksistensi al-Qur’an itu sendiri. Ada yang menyebut, al-Qur’an merupakan hasil kreatifitas Nabi Muhammad, dan secara otomatis – dianggap - bukan berasal dari Tuhan. Bagaimana sebenarnya proses Nuzul Qur’an dalam menjawab keraguan kalangan orintalis tehadap kebenaran al-Qur’an?

Nuzul Qur’an pada dasarnya terkait dengan proses penurunan al-Qur’an kepada Rasulullah SAW. Wacana nuzulul Qur’an tidak hanya terfokus pada sisi bentuk penurunan al-Qur’an, tetapi juga terkait dengan mekanisme penurunan al-Qur’an terhadap Nabi Muhammad, sehingga al-Qur’an tidak hanya sekedar diturunkan tetapi memiliki alasan dan bukti-bukti rasional yang utuh. Sebagai kitab yang asli berasal Tuhan, al-Qur’an tentu saja merupakan mukjizat terbesar dalam sejarah kenabian, sehingga sisi keluarbiasaan al-Qur’an sudah pasti menjadi bagian integral dalam diri al-Qur’an, baik pada isi maupun dalam proses tanzilnya kepada Nabi Muhammad.

Sebab, al-Qur’an bukan kitab yang dibuat-buat oleh manusia, seperti yang menjadi keraguan banyak kalangan (di luar Islam), seperti Thomas Carlyle, Gustav Weil, Theodor Noldeke, mereka telah mengejek Nabi Muhammad dan umat Islam, bahkan J. Wansbrough dengan sangat sinis mengatakan bahwa al-Qur’an merupakan hasil konspirasi Muhammad dan para pengikutnya pada dua abad pertama Islam di bawah pengaruh Yahudi. Demikian juga dengan Philip K. Khitti yang menuduh bahwa al-Qur’an sebagai kitab suci palsu yang tidak lebih dari sekedar arabisasi terhadap warisan Yahudi-Kristen.

Pandangan kurang bersahabat kalangan non muslim tersebut, merupakan sesuatu yang biasa dilakukan sebagai upaya untuk melemahkan kebenaran al-Qur’an, walaupun argumen dan keraguan terhadap al-Qur’an yang mereka utarakan tidak lebih hanyalah memperjelas ketidak mampuan mereka dalam melemahkan kehebatan al-Qur’an yang di turunkan kepada nabi Muhammad. Bukti bahwa al-Qur’an memang benar diturunkan dari al-Qur’an merupakan fakta yang sudah pasti tidak terbantahkan, sampai detik ini belum ada yang bisa melemahkan posisi al-Qur’an. Menurut Fazlurrahman, di dalam Islam ada sebuah literatur yang dikenal sebagai i’jaz al-Qur’an. Di dalamnya disebutkan bahwa al-Qur’an tidak dapat dipalsukan. Doktrin ini menurut Rahman bersumber dari al-Qur’sn sendiri yang menyatakan dirinya sebagai mukjizat yang unik dari Muhammad, selain itu al-Qur’an tidak pernah menyatakan kitab-kitab yang lain sebagai mukjizat

Pandangan ulama klasik tentang proses penurunan al-Qur’an sudah jelas, misalnya seperti yang diungkapkan al-Zarkashi. Menurutnya, pertama : al-Qur’an turun sekaligus dari lauh al-mahfudz ke langit dunia pada malam lailatul qadar, kemudian turun kepada nabi Muhammad secara bertahap, sejak beliau diangkat menjadi Rasul sampai wafat. Kedua, al-Qur’an turun ke langit dunia setiap tahun pada malam lailatul qadar, kemudian diturunkan secara bertahap kepada Nabi Muhammad sesuai dengan kebutuhan pada saat itu. Ketiga, Allah menjadikan malam lailatul qadar sebagai awal pembuka diturunkannya al-Qur’an secara bertahap

Posisi Jibril dan Nabi Muhammad pada saat menerima terjadi penurunan wahyu, menurut Al-Zarkashi, ada beberapa kemungkinan. Pertama, Nabi Muhammad terbebas dari dimensi kemanusiannya dan masuk ke dalam dimensi malaikat dalam menerima wahyu dari Jibril. Kedua, Jibril mengubah bentuk dirinya menjadi manusia. Menurut al-Zarkashi, kedua cara ini merupakan cara yang sangat berat dalam pengalaman Nabi Muhammad

Dalam al-Qur’an sendiri, banyak ayat yang menegaskan tentang penurunanan al-Qur’an kepada Nabi Muhammad. Hal itu semakin membenarkan posisi al-Qur’an sebagai kitab yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi Muhammad. Allah berfirman :

Artinya : Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (Qs. Yusuf, 12 : 2

Artinya : Sesungguhnya kami telah menurunkan Al Qur’an kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur. (Qs. Al-Insan, 76 : 23)

Artinya : Sesungguhnya kami Telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan Telah kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (Qs. Al-Hadid, : 25)

Semua ayat tersebut memastikan bahwa ala-Qur’an memang berasal dari Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui perantara Jibril untuk di sebarkan ke seluruh umat manusia. Ayat-ayat tersebut secara langsung telah membantah berbagai asumsi kalangan non muslim yang meragukan eksistensi al-Qur’an sebagai firman Allah. Al-Qur’an adalah murni firman Allah dan tidak ada keraguan di dalamnya. Allah-lah yang menurunkan al-Qur’an kepada Nabi Muhammad, sehingga tidak ada alasan untuk menolaknya, karena berbagai alasan penolakan yang dilontarkan sama sekali tidak memiliki dasar yang kuat.

Menurut Muhammad Syahrur terdapat enam cara penyampaian wahyu Tuhan kepada penerimanya. Pertama, wahyu disampaikan melalui proses fisiologis (al-barmajah al-’udwiyah) dan program fungsionalis (al-barmajah al-wazifiyyah). Yang pertama khusus kepada makhluk hidup, seperti wahyu Allah kepada lebah. Allah berfirman : Qs. An-Nahl : 68-69. Kemudian yang kedua khusus menyangkut fenomena alam, seperti dalam ayat 12 surat Fussilat, dan ayat 4-5 al-zalzalah.

Kedua, wahyu datang dalam bentuk personifikasi berupa suara dan rupa. Misalnya, wahyu yang pernah diterima oleh Nabi Ibrahim dan Nuh. Allah berfirman : Qs. Hud : 69 dan 77

Ketiga, wahyu yang datang dalam bentuk getaran atau bisikan hati nurani atau semacam ilham. Biasanya datang kepada manusia ketika datang masalah atau ketika berfikri keras. Hal ini bisa terjadi pada siapa saja, baik Nabi Musa maupun Isac Newton. Allah berfirman : Qs. Al-qasas : 7, dan QS. al-maidah : 111

Keempat, wahyu melalui mimpi Seperti yang terjadi pada Nabi Ibrahim. Qs. As-Saffat : 102

Kelima, wahyu yang disampaikan secara abstrak. Jibril datang kepada Nabi tanpa bisa ditangkap dengan panca indera, kemudian menyampaikan wahyu ke dalam hati Nabi. Ini merupakan model wahyu paling berat bagi Nabi Muhammad. Ketika menerima wahyu dengan cara ini, biasanya Nabi tidak sadarkan diri disertai dengan cucuran keringat yang mengalir, dan setelah sadar membacakan ayat yang telah diterima. Fenomena ini yang pada gilirannya dianggap oleh kalangan orientalis bahwa Nabi mengalami gangguan jiwa, mengidap penyakit epilepsi.

Keenam, wahyu dalam bentuk suara yang hanya dialami oleh Nabi Musa sebagaimana disebutkan dalam Qs. Al-Nisa’ : 164.

Dalam keterkaitan ini, khusus wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad menurut Syahrur, melalui dua cara. Pertama, wahyu yang abstrak, seperti yang telah dijelaskan di atas. Kedua, wahyu melalui tangkapan panca indera, seperti yang terjadi pada penyampaian wahyu yang pertama, yaitu surat al-Alaq. Sebab, menurut Stahrur, apabila wahyu pertama disampaikan dengan cara abstrak, secara otomatis Nabi tidak akan mungkin mempercayainya. Sehingga, wahyu awal tidak disampaikan dengan abstrak, tetapi dengan sesuatu yang bisa ditangkap dengan panca indera, karena pancaindera merupakan landasan bagi pengetahuan.

Sementara tuduhan sebagian orientalis yang memandang Rasulullah terkena penyakit ayan saat menerima wahyu merupakan asumsi yang terlalu dipaksakan. Karena asumsi tersebut tidak benar dengan berdasarkan pada dua alasan. Pertama, seorang epileptik yang sembuh dari ketidaksadarannya akan menjadi seperti orang dungu yang tidak mengetahui apapun, apalagi untuk mendapatkan pengetahuan baru pada saat tidak sadar. Sementara Nabi Muhammad tidak demikian, ketika beliau sadar beliau bisa membacakan ayat-ayat yang baru diterimanya, tanpa ada kesan linglung. Kedua, secara pasti seseorang tidak mungkin memperoleh pengetahuan melalui dua cara sekaligus, yaitu melalui pancaindera yang kemudian dianalisis dan diformat melalui potensi nalar ; dan langsung masuk ke dalam otak menjadi satu kesadaran dengan mengabaikan pancaindera.

Jadi, wahyu bukanlah kreasi aktifitas hati Nabi, tetapi murni berasal dari Allah melalui perantara Jibril. Hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an :

Artinya : Dan kami turunkan (Al Quran) itu dengan sebenar-benarnya dan Al Quran itu Telah turun dengan (membawa) kebenaran. dan kami tidak mengutus kamu, melainkan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan.

Dalam konteks ini, al-Qur’an secara faktual merupakan wahyu yang turunkan oleh Allah kepada Nabi Muhmmad secara genuine. Proses dan mekanisme pewahyuan merupakan sesuatu yang nyata terjadi pada diri Nabi Muhammad, sehingga tidak bisa dipatahkan dengan asumsi apapun, apalagi proses penuruanan wahyu memang memiliki dasar yang sangat rasional, sehingga menjadi mutlak kebenarannya.

2. Nasikh mansukh dalam al-Qur’an dianggap sebagai konsep yang bisa melemahkan posisi al-Qur’an sebagai kitab Tuhan, karena sangat tidak mungkin al-Qur’an harus mengalami modifikasi, karena kalau hal itu terjadi al-Qur’an berarti tidak konsisten. Itulah salah satu lontaran pengkritik al-Qur’an. Bagaimana sebenarnya posisi konsep nasikh mansukh dalam al-Qur’an?

Konsep nasikh mansukh kalau dipahami secara telanjang memang terkesan menjadi problem tersendiri bagi al-Qur’an, karena sebagai kitab wahyu terbesar, sangat tidak mungkin al-Qur’an akan mengalami nasikh dan mansukh : sebuah konsep yang bisa menjadi blunder bagi sakralitas eksistensi al-Qur’an. Tidak heran apabila di kalangan tokoh muslim sendiri masih menempatkan konsep nasikh dan mansukh sebagai wacana yang pro dan kontra. Bahkan wacana ini, kerapkali dijadikan sebagai amunisi oleh kalangan di luar muslim untuk melemahkan dan mempertanyakan keberadaan al-Qur’an. Padahal al-Qur’an adalah suci dan merupakan karya-karya ilahi, sehingga tidak mungkin harus mengalami nasikh dan mansukh.

Kalangan yang menolak konsep nasikh-mansukh didasarkan asumsi bahwa ayat al-Qur’an tidaklah mungkin ada yang dihapuskan, karena hal itu tentu saja bisa akan berakibat fatal pada al-Qur’an. Penghapusan tersebut mengesankan tidak adanya konsistensi al-Qur’an dalam menentukan ayat-ayat-Nya.

Masalah nasikh dan mansukh dirujukkan pada beberapa ayat yang terdapat dalam al-Qur’an :

Artinya : Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (Qs. Al-Baqarah, 2 : 106)

Artinya : Sesudah amarah Musa menjadi reda, lalu diambilnya (kembali) luh-luh (Taurat) itu; dan dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada Tuhannya (Qs. Al-A’raf : 154)

Artinya : Dan kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana (Qs. Al-Hajj : 52)

Artinya : (Allah berfirman): "Inilah Kitab (catatan) kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya kami Telah menyuruh mencatat apa yang Telah kamu kerjakan" (Qs. Al-Jatsiyah : 29)

Dalam ayat tersebut dijelaskan tentang adanya nasikh dan mansukh dengan sangat jelas, sehingga konsep ini memang berdasar dalam al-Qur’an. Menurut Quraish Shihab, secara etimologi nasikh adalah pembatalan, penghapusan, pemindahan dari satu wadah ke wdah yang lain, pengubahan dan lain sebagainya. Sementara sesuatu yang dibatalkan, menghapus, memindahkan dan lain sebagainya disebut dengan mansukh.

Menurut Shihab, para ulama terdahulu bahkan memberikan pemahaman yang lebih luas lagi memberikan pengertian terhadap nasikh, sehingga mencakup : (1) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian ; (2) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian ; (3) penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar ; (4) penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.

Oleh karena itu, konsep nasikh mansukh sama sekali bukan menunjukkan adanya kelemahaman dan ketidakkonsistenan al-Qur’an, karena nasikh mansukh lebih menekankan pada pemindahan atau perubahan hukum lama dengan hukum baru. Hal ini sangat wajar, karena masalah hukum adalah masalah yang tidak kaku, dan bisa bersifat fleksibel.

Al-Maraghi sebagaimana ditulis Shihab menegaskan bahwa hikmah adanya nasikh menurut al-Maraghi adalah bahwa hukum-hukum tidak diundangkan kecuali untuk kemaslahatan manusia dan hal ini berubah atau berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat, sehingga apabila ada satu hukum yang diundangkan pada suatu waktu karena adanya kebutuhan yang mendesak, kemudian kebutuhan itu berakhir, maka merupakan suatu tindakan bijaksana apabila di-nasakh, dan diganti dengan hukum yang sesuatu dengan waktu itu, sehingga ia akan menjadi lebih baik. Menurut Shihab, al-Maraghi mengumpakannya dengan obat-obatan yang diberikan kepada pasien. Para Nabi dalam hal ini adalah berfungsi sebagai dokter, dan hukum-hukum yang diubahnya sama dengan obat-obat yang diberikan oleh dokter.

Jadi, menjadi sangat jelas bahwa nasikh-mansukh terkait dengan hukum yang ada dalam al-Qur’an, bukan para pengpausan ayat-ayat al-Qur’an itu sendiri. Hal ini juga relevan dengan pandangan Salim Ali Al-Bahanasawi, yang menyatakan bahwa nasikh adalah penjelasan terhadap hukum syara’ dan bukan penghilangan nas-nas. Jadi hukum yang pertama tetap ada sampai saat turunnya hukum yang terakhir. Misalnya dalam al-Qur’an kasus ini disebutkan :

Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir (Qs. Al-Baqarah : 219)

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu Telah menyentuh perempuan, Kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun. (Qs. An-Nisa’ : 43)

Artinya : Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). (Qs. Al-Maidah : 91)

Ayat-ayat tersebut mengandung fase-fase pengharaman khamer secara berangsung-angsur. Setiap hukum menjadi hukum syara’ yang sah pada masa sebelum diharamkannya khamar.

Inilah salah satu contoh penerapan konsep nasikh-mansukh yang disebutkan dalam al-Qur’an. Jadi, nasikh berarti membatalkan sesuatu yang tidak cocok dengan yang cocok, seperti yang digambarkan dalam ayat-ayat tersebut.

Dalam kasus khamar tersebut, pada awalnya al-Qur’an hanya bersifat mengingatkan dan tidak memberikan keputusan boleh dan tidaknya, karena pada saat itu, masalah khamar masih menjadi sesuatu yang sulit ditinggalkan oleh masyarakat Arab. Memberikan keputusan secara langsung, rasanya sangat tidak memungkin, akan tetapi setelah kondisi memungkinkan dan masyarakat sudah mulai tidak lagi bergantung pada khamar, akhirnya Allah mengharamkan khamar tersebut.

Inilah contoh yang sangat rasional tentang nasikh mansukh yang sangat jelas menunjukkan akan adanya penghapusan pada sisi hukum, bukan nas-nasnya, karena nas-nasnya masih tetap utuh dan tidak terhapus dan dapat dibaca dalam al-Qur’an. Pada wilayah seperti ini, konsep nasikh-mansukh seharusnya dipahami, dan memang seharusnya ke arah itu konsep nasikh mansukh diberlakukan, sehingga tidak akan menimbulkan sesuatu yang salah arah.

Artinya, anggapan bahwa nasikh-mansukh sebagai konsep pembatalan terhadap satu ayat dengan mengganti ayat yang lain merupakan anggapan – menurut penulis- terlalu berlebihan, karena hal itu akan menghilangkan jati diri al-Qur’an sebagai firman Tuhan yang memiliki kebenaran absolut. Sementara meletakkan nasikh mansukh dengan cara pandang pembatalan hukum karena sudah tidak lagi relevan dengan kebutuhan yang ada, karena kebutuhan manusia selalu berubah, sehingga dibutuhkan keputusan baru yang tentunya menjadi sesuatu yang biasa dan sudah seharusnya, karena dengan cara demikian maka al-Qur’an akan dapat relevan dengan kebutahan masyarakatnya.

3. Sebagai kitab Ilahi, al-Qur’an tentu saja memiliki sesuatu yang lain dibandingkan dengan kitab-kitan yang lain, dan hal inilah yang menjadi power al-Qur’an dalam menundukkan orang-orang yang menolak kebenaran al-Qur’an. Bagaimana sebenarnya kehebatan(i’jaz) al-Qur’an ini ?

Salah satu bukti kebenaran al-Qur’an adalah ia memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh kitab-kitab lain. Al-Qur’an telah menjadi satu-satunya kitab maha lengkap dan tidak tertandingi oleh kitab-kitab manapun dan tidak satupun sampai saat ini yang bisa menandingi kehebaran al-Qur’an, baik gramatika bahasa yang digunakan maupun kandungan isi yang dimiliki al-Qur’an. Tidak heran apabila al-Qur’an menjadi sebuah mukjizat bagi Nabi Muhammad, yaitu mukjizat terbesar yang mengalahkan segala mukjizat yang ada. Sebagai sebuah mukjizat secara otomatis, al-Qur’an memiliki kehebatan khusus yang tidak bisa ditandingi oleh siapapun, karena al-Qur’an langsung dikawal oleh Tuhan. Allah berfirman :

Artinya : Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya (Qs. Al-Hijr : 9)

Layakhlah kalau pada gilirannya al-Qur’an memposisikan dirinya sebagai kitab tanpa ada tandingannya. Ia benar-benar kitab Allah yang memiliki kei’jazan luar biasa. Bahkan al-Qur’an dengan terang-terangan menantang siapun untuk membuat sesuatu yang bisa sama atau bahkan menandingi kehebatan al-Qur’an. Tantangan dilakukan oleh Nabi dengan beberapa tahapan. Pertama, mendatangkan semisal al-Qur’an secara keseluruhan, seperti yang dijelaskan dalam Qs. Al-Isra’ : 88:

Artinya : Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain".

Kedua, mendatangkan sepuluh surat yang menyamai surat-surat yang ada dalam al-Qur’an, seperti jelaskan dalam Qs. Hud : 13 ;

Artinya : Bahkan mereka mengatakan: "Muhammad Telah membuat-buat Al Quran itu", Katakanlah: "(Kalau demikian), Maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar".

Ketiga, mendatangkan suatu surat saja yang menyamai surat-surat yang ada dalam al-Qur’an, seperti dijelaskan dalam Qs. Al-Baqarah : 23 :

Artinya : Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.

Tantangan tersebut dalam sepanjang sejarah aumat Islam, sejak ia baru diturunkan sampai saat ini belum ada yang bisa mememenuhinya, sehingga al-Qur’an masih tetap menjadi kitab yang sangat perkasa. Disnilah letak kemukjizatan al-Qur’an selalu tampak. Tidak ada yang bisa menandingi. Itulah kita yang benar-benar diturunkan dari sisi Allah. Bahkan gaya bahasa yang dipakai ala-Qur’an, bukan merupakan gaya bahasa seperti yang biasa dipakai kalangan orang Arab pada saat itu. Al-Qur’an memakai gaya bahasa yang melampuai gaya bahasa yang telah dipakai oleh para ahli gramatika dan ahli sastra Arab pada saat itu, sehingga semakin membenarkan bahwa kitab ini merupakan firman Tuhan.

Shihab menegaskan bahwa gaya bahasa al-Qur’an bisa dilihat dalam tiga point. Pertama, susunan kata dan kalimat, yang meliputi antara lain, nada dan langgamnya yang unik, singkat dan padat, memuskan para pemikir dan orang awam, memuaskan akal dan jiwa, keindahan dan ketepatan makna.

Kedua, keseimbangan redaksi, yang meliputi antara lain : keseimbangan antara jumlah bilangan kata dan antonimnya, keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan sinonim atau makna yang dikandungnya, keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjukkan akibatnya, keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya.

Ketiga, ketelitian redaksi yang dipakai oleh al-Qur’an. Al-Qur’an sangat teliti dalam memilii diksi yang akan dipakai dalam setiap ayat al-Qur’an, sehingga memiliki redaksi yang sangat layak dan selalu menarik.

Selain itu, Shihab juga menyebutkan beberapa aspek lagi tentang sisi kemukjizatan al-Qur’an ini, antara lain :

1. Berita tentang hal-hal yang ghaib. Ulama menegaskan bahwa sisi ini merupakan salah satu kemukjizatan yang dimiliki oleh al-Qur’an. Misalnya, informasi tentang Fir’un yang mengejar-ngejar Nabi Musa, seperti disebutkan dalam Qs. Yunus : 92 :

Artinya : Dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu." Lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata Karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.

Dalam ayat tersebut, Allah mengabarkan bahwa Fir’un akan diselematkan oleh Allah sebagai pelajaran bagi umat manusia. Tidak seorangpun yang mengetahui hal itu, karena terjadi pada sekita 1.200 tahun SM. Pada awal abad ke-19, pada tahun 1896, ahli purbakala Loret menemukan satu mumi di lembah raja-raja Luxor Mesir, yang dari data sejarah terbukti sebagai Fir’un yang bernama Muniftah, yang pernah mengerjar Nabi Musa. Pada 8 Juli 1908, Elliot Smith mendapatkan isin dari pemerintah Mesir untuk membuka pembalut Fir’un. Yang terjadi adalah satu jasad utuh, persis yang diberitakan oleh al-Qur’an.

2. Isyarat-isyarat ilmiah. Banyak sekali isyarat ilmiah yang ditemukan dalam al-Qur’a, antara lain :

Ø Cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri dan cahaya bulan merupaka pantulan. Allah berfirman : Qs. Yunus : 5 :

Artinya : Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang Mengetahui.

Ø Kurangnya oksigen pada ketinggian dapat menyesakkan nafas. Allah berfirman dalam al-Qur’an Qs. Al-an’am : 125 :

Artinya : Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.

Ø Perbedaan sidik jari manusia. Qs. Al-Qiyamah : 4 :

Artinya : Bukan demikian, sebenarnya kami kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna.

Ø Aroma manusia berbeda. Qs.Yusuf : 94 :

Artinya : Tatkala kafilah itu telah ke luar (dari negeri Mesir) bekata ayah mereka: "Sesungguhnya Aku mencium bau Yusuf, sekiranya kamu tidak menuduhku lemah akal (tentu kamu membenarkan aku)".

Ø Masa penyusuan yang sempurna. Qs. Al-Baqarah : 233 :

Artinya : Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.

Ø Adanya nurani (super ego) dan bawah sadar manusia. Qs. Al-Qiyamah : 14-15 :

Artinya : Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri. Meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.

Ø Yang merasakan nyeri adalah kulit. Qs. An-Nisa’ : 56 :

Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat kami, kelak akan kami masukkan mereka ke dalam neraka. setiap kali kulit mereka hangus, kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Dengan gambaran tersebut, jelas sekali bahwa Al-Qur’an memang wahyu dari Allah. Berbagai kemukjizatan yang disebutkan itu merupakan bukti otentik tentang kebenaran dan kei’jazan yang dimiliki oleh al-Qur’an. Tidak akan pernah ada teks yang bisa menandingi al-Qur’an, sampai kapanpun, bahkan sejak awal al-Qur’an telah menantang siapapun untuk membuat seperti al-Qur’an, tetapi belum ada yang bisa memenuhi tantangan tersebut. Itulah teks wahyu yang bersumber dari Allah yang sangat genuine.

Pada saat tidak akan yang bisa menandingi, maka itulah salah satu bukti bahwa al-Qur’an memang bukan hasil ciptaan manusia (Muhammad), tetapi ciptaan Tuhan, karena setiap konsep dan gagasan di dalamnya memiliki keluarbiasaan yang tidak bisa ditandingi oleh umat manusia seluruh penjuru dunia dalam sepanjang masa. Al-Qur’an adalah wahyu Tuhan yang mampu menundukkan segala kehebatan yang dimiliki manusia. Seandainya seluruh manusia paling cerdas berkumpul untuk menyusun kitab yang sama dengan al-Qur’an, niscaya mereka tidak akan pernah bisa melakukannya, karena gagasan manusia sangat terbatas. Melawan al-Qur’an sama halnya mencoba melawan sesuatu yang tidak akan pernah mungkin ditaklukkan.

4. Dalam sejarah al-Qur’an, tafsir merupakan sebuah fenomena yang sangat unik. Kehadiran al-Qur’an telah mengajak para mufasir untuk memahami al-Qur’an secara kreatif. Bagaimana peran dan keberadaan tafsir sebagai salah satu wujud kehebatan al-Qur’an?

Dalam diskursus al-Qur’an, wacana tafsir menjadi bagian yang sejak awal selalu terintegrasi di dalamnya. Al-Qur’an dan tafsir merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, berbicara al-Qur’an secara otomatis juga berbicara tentang dunia tafsir. Hal ini sebagai konsekwensi rasional dari asumsi bahwa al-Qur’an – dalam pandangan kaum hermeneutis – merupakan teks diam dan tidak bisa berbicara dengan sendirinya, sementara al-Qur’an dibutuhkan untuk bisa berbicara guna menjawab setiap perjalanan zaman.

Dalam kerangka ini, tafsir menjadi alat kerja untuk membuat al-Qur’an bisa berbicara dengan bahasa zaman, bahwa al-Qur’an tidak pernah diam. Ia selalu berbicara dengan dinamis yang diproses melalui kerja-kerja penafsiran. Karena tafsir adalah perwakilan dari suara al-Qur’an, walaupun tetap tidak bisa lepas dari faktor subjektifitas sang mufasir.

Disinilah, logika integrasi antara al-Qur’an dan tafsir menjadi sesuatu yang selalu menyatu, seperti yang penulis maksud di awal tulisan ini. Artinya, berbicara tentang al-Qur’an secara otomatis tidak akan pernah terlepas dari pembicaraan tentang tafsir. Kenyataan ini, sekaligus membuktikan tentang kebenaran sejarah tafsir dan al-Qur’an. Munculnya tafsir dengan demikian sejalan dengan muculnya Islam itu sendiri. Sejarah penafsiran al-Qur’an adalah Islam itu sendiri, karena perjalanan penafsiran al-Qur’an sama tuanya dengan sejarah perjalanan Islam sebagai agama, sehingga antara keduanya menjadi identik dan tidak terpisahkan.

Bahkan juga ditegaskan bahwa antara Islam dan al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang padu dan tidak bisa dipisahkan. Dalam istilah Edward W. Said, tidak akan ada Islam tanpa al-Qur’an ; sebaliknya, tidak akan ada al-Qur’an tanpa Muslim yang membacanya, menafsirkannya, mencoba menerjemahkannya ke dalam adat istiadat dan realitas-realitas sosial.

Kehadiran al-Qur’an sejak awal yang sekaligus menjadi awal proklamasi kehadiran Islam, dengan demikian membutuhkan pola dan kerja tafsir dalam menjembatani pesan yang diinginkan oleh al-Qur’an dengan pembaca teks itu sendiri, sehingga suara al-Qur’an dalam wujud nilai-nilai Islam dapat terbumikan dalam kehidupan nyata masyarakat muslim.

Dengan fungsi semacam ini, penafsiran dapat menjadi sarana bagaimana mengungkap dan menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan definisi tafsir itu sendiri, bahwa secara terminologis tafsir adalah firman Allah yang diturunkan pada Nabi Muhammad SAW. Penafsiran merupakan upaya menjelaskan dan memberikan pemahaman tentang teks al-Qur’an secara komprehensif dengan menekankan pada satu pandangan bahwa al-Qur’an memiliki visi sebagai rahmatan lil alamin, karena maksud diturunkannya al-Qur’an kepada Rasulullah, menurut Manna’ Khalil al-Qattan, untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju suasana yang terang, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus.

Tafsir adalah sesuatu yang terus berkembang sesuai dengan ritme kehidupan serta selalu mendatangkan sesuatu yang baru. Kehadiran model penafsiran yang salihun, baik sejak Nabi, sahabat dan tabi’in merupakan tahapan dinamis dalam sejarah penafsiran al-Qur’an.

Penafsiran ini terus mengalami perkembangan yang pesat dan terbagi ke dalam beberapa corak, antara lain tahlily dan maudlu’i. Metode tahlily adalah metode tafsir yang “mufasirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dalam berbagai segi dengan memperhatikan satu pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya pada ayat lain. Sedangkan metode maudlu’i merupakan metode dimana mufasirnya berupaya menghimpun ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai surat yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya, setelah itu mufasir membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sampai menjadi satu kesatuan yang utuh.

Menurut Nasr Hamid Abu Zaid, beragamnya tafsir dan interpretasi terhadap al-Qur’an, karena teks menjadi sentral suatu peradaban atau kebudayaan, dan keragaman ini terjadi menurut Nasr Hamid, karena beberapa faktor. Pertama, dan ini oleh Nasr Hamid dianggap sebagai faktor yang penting, adalah sifat dan watak ilmu yang disentuh oleh teks. Artinya, disiplin tertentu sangat menentukan terhadap tujuan interpretasi dan pendekatannya. Kedua, adalah horizon epistimologi yang dipergunakan oleh seorang ilmuwan dalam menangani teks. Dengan horizon tersebut, ia mengusahakan bagaimana teks bisa mengungkapkan dirinya.

Sementara pada masa kontemporer paradigma penafsiran terus dikembangkan, teks dijadikan sebagai sarana untuk dicari aspek relevansinya dengan zaman, sehingga akan ditemukan fungsi ideal sebuah teks, yaitu untuk menjawab tantangan yang terjadi. Dengan demikian, pada masa ini, telah muncul kesadaran untuk mengembangkan penafsiran ke arah yang lebih relevan dengan zaman, dan pendekatan yang digunakannyapun telah didasarkan pada keilmuan kontemporer, karena para mufasir menekankan pada kesadaran untuk memposisikan tafsir mereka pada wilayah yang kompleks, bukan hanya memahami teks al-Qur’an dengan satu kaca pendekatan, tetapi dengan berbagai pendekatan yang relevan.

Para mufasir mulai mencoba menyesuaikan ayat-ayat al-Qur’an dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat kontemporer. Pada masa ini, sejumlah kitab tafsir mulai ditulis, misalnya tafsir al-Manar, karya Muhammad Rasyid Ridla, tafsir Fi Dzilal al-Qur’an, karya Muhammad Quthb, Tafhim al-Qur’an, karya Abul A’la al-Maududy yang menguraikan dasar-dasar al-Qur’an tentang masyarakat manusia, pembuatan undang-undang (legislasi) dan teori-teori ilmiah.

Kesadaran semacam ini, menurut hemat penulis telah dikembangkan oleh para mufasir era ini. Mungkin cara pandang penafsiran era ini, bisa diwakili oleh paradigma berfikir mengetahui masa lampau, masa kini, dan masa depan kaum muslim. Dengan kata lain, kesadaran akan masa lampau dimana teks diturunkan, konteks hari ini dan bagaimana arah ke depan teks, menjadi bagian dalam proses penafsiran yang mulai dikembangkan era ini.

Inilah kesadaran utuh yang mulai dikembangkan oleh para mufasir, sehingga teks menjadi lebih kompleks dipahami. Hassan Hanafi membagi kesadaran semacam ini dengan tiga model kesadaran, yang dikenal dengan triangle teori kesadaran : (1) kesadaran historis untuk mengetahui validitas teks-teks historis melalui metode-metode transmisi, (2) kesadaran spekulatif untuk menginterpretasikan teks-teks dan memahaminya melalui analisis bahasa, dan (3) kesadaran praksis untuk signifikansi nilai-nilai dalam kehidupan praksis.

Maka, paradigma salihun fi kulli zaman wa makan yang secara substansial menjadi prinsip eksistensial al-Qur’an menjadi landasan logis di dalam proses penafsiran yang dilakukan pada era reformatif ini, sehingga melakukan penafsiran dengan nalar kritis menjadi landasan signifikan dan lebih obyektif dilakukan dalam menguak ideal moral yang tersimpan di balik teks itu sendiri, setelah sekian lama al-Qur’an hanya ditafsirkan dengan tidak lagi memprioritaskan bahasa zaman, sehingga menyebabkan terjadinya ketidaksingkronan antara teks dengan realitas yang terjadi di masyarakat, yang pada gilirannya melahirkan satu stigma negatif tentang tafsir bahwa tafsir tidak mampu bersuara dengan bahasa zaman dan memenuhi kebutuhan realitas kekinian.

Oleh karena itu, menafsirkan al-Qur’an dengan metode yang baru tentu telah menjadi keharusan dilakukan dan kebutuhan umat Islam. Hal itu terlihat salah satunya dalam kata-kata Syahrur yang sangat provokatif bahwa umat Islam saat ini tidak harus terkungkung oleh hasil penafsiran para mufassir masa lalu, karena hanya merupakan produk historis yang mungkin tidak sesuai lagi dengan masa kini. Syahrur bahkan mengatakan “ kita harus bersikap seakan-akan kita baru saja menerima al-Kitab langsung dari Nabi.

Dengan demikian, rumusan dan metode tafsir terus mengalami perkembangan yang sangat dinamis dan dialektif. Al-Qur’an yang serba lengkap telah menjadi inspirasi kelahiran tafsir yang beragam dan penuh dengan corak yang benar-benar memiliki keistimewaan luar biasa. Hal itu terjadi, akibat kreatifitas dan nalar tafsir yang berbeda pada masing-masing para penafsir sesuai dengan kondisi dan situasi dimana para mufasir itu berada. Tafsir dengan corak dan paradigma kontemporer dimana nalar kritis dijadikan sebagai sandaran utama dalam melakukan proses penafsiran dengan tujuan hanya untuk menampilkan Islam dan Al-Qur’an sesuai dengan tujuan asli al-Qur’an itu sendiri, seperti yang diungkapkan oleh Asghar Ali Engineer, bahwa Islam yang berlandaskan pada al-Qur’an adalah sejenis Islam yang memiliki perhatian pada upaya-upaya penegakan keadilan sosial dengan aksentuasi utama untuk membebaskan kelompok-kelompok yang tertindas, baik di ranah politik, sosial maupun ekonomi.

Dalam keterkaitan ini, kehadiran Fazlurrahman dan Muhamad Syahrur dengan metode tafsir kontemporernya, seperti yang telah digambarkan dengan sekilas di atas merupakan wujud adanya perkembangan yang dinamis metode tafsir yang terbangun di atas landasan teori kritis dan berorientasi pada semangat dinamis. Apa yang telah berhasil dirumuskan oleh keduanya, merupakan gagasan segar dalam dunia tafsir al-Qur’an, akibat kesadaran bahwa kehidupan tidak statis dan selalu bergerak dinamis, sehingga dibutuhkan metode baru yang bisa mengimbangi sesuai dengan kebutuhan perubahan itu sendiri, sekaligus menjadi khazanah yang memenuhi dokumen sejarah tafsir umat Islam.

Perbedaan penafsiran terhadap al-Qur’an merupakan sesuatu yang biasa, karena al-Qur’an memang menyimpan potensi perbedaan dan interpretable, sehingga membuka ruang yang terbuka untuk ditafsirkan dengan kesimpulan yang berbeda diantara masing-masing mufasir. Perbedaan ini, pada hakikatnya merupakan salah satu kemukjizatan yang dimiliki al-Qur’an yang sangat luar biasa. Menurut Ali Harb bahwa perbedaan yang terjadi dalam Islam memiliki struktur orisinil yang berasal dari kekhasan al-Qur’an dan peristiwa bayani (retoris). Kekhasan yang kami maksud disini adalah kemukjizatan al-Qur’an yang membedakannya dari teks-teks lainnya. Wacana al-Qur’an merupakan firman yang luas maknanya dan beranikaragam sisi signifikansinya. Ia adalah firman yang tak mungkin dihabiskan maknanya atau dibatasi signifikansinya. Tak mungkin seseorang menangkap atau meraih kebenarannya. Dari sinilah munculnya perbedaan tafsir dan takwil, perbedaan metode dan madzhab, serta munculnya berbagai aliran dan konsep.

Hal ini juga semakin membuktikan bahwa al-Qur’an memang memiliki keistimewaan yang luar biasa dan sejuta misteri yang tidak akan pernah habis, walaupun telah hidup sekian abad lamanya, semenjak Nabi masih hidup. Perkembangan metode tafsirpun menjadi saksi nyata akan kehebatan yang dimiliki oleh al-Qur’an. Telah berapa metode yang ditemukan untuk menafsirkan al-Qur’an dan berapa ribu kitab tafsir yang menjelaskan tentang al-Qur’an, tapi sampai detik ini, al-Qur’an tetap saja tidak pernah kering dengan metode-metode baru yang dirancang oleh para penafsir. Tafsir al-Qur’an terus berkembang dan tidak boleh termonumenkan, hanya karena terjebak dengan apa yang telah berhasil diproduk oleh sejarah. Meletakkan al-Qur’an sebagai sesuatu yang selalu hidup, berarti membawa Islam tetap dinamis dan sinergis dengan kehidupan. Dengan kata lain, al-Qur’an tidak dipahami sebagai wahyu Allah yang “mati”, melainkan sebagai tuntutan yang bersifat “hidup” (the living Qur’an).

Dalam kerangka ini, keyakinan Hasan Sha’b tentang kreatifitas al-Qur’an, seperti dikutip Issa J. Boullata, sangat relevan untuk memahami makna kreatif posisi al-Qur’an. Dalam keyakinan Sha’b bahwa firman Tuhan dalam al-Qur’an menciptakan suatu pesan baru, hukum, komunitas, dan peradaban baru. Al-Qur’an merupakan tempat penyatuan faktor-faktor historis, geografis, sosial, ekonomis, dan politis yang menyatu dan telah menyebabkan lahirnya Islam pada abad ke-7.

Islam tidak bisa dipahami dari kekuataan unik yang menggerakkannya, yakni kekuatan firman Tuhan yang kreatif, karena selama firman ini terus menjadi efektif secara kreatif di dalam jiwa, masyarakat, dan sejarah manusia, maka Islam terus tumbuh dan meluas serta membuat kemajuan.

Disinilah peran fungsi tafsir menempati yang sangat strategis dalam al-Qur’an. Sejarah telah membuktikan bahwa munculnya ribuan kitab tafsir pada dasarnya merupakan bentuk kehebatan al-Qur’an yang sangat dashsyat dan luar biasa. Al-Qur’an mampu mengundang banyak pemikiran untuk menggali dan menafsirkannya sesuai dengan kualitas dan kapasitas yang dimiliki, sehingga al-Qur’an tetap menjadi primadona dalam kontelasi khazanah umat manusia.

5. Salah satu ciri khas isi al-Qur’an adalah cerita (qasas). Kisah telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari isi al-Qur’an. Apa dan bagaimana maksud dan tujuan al-Qur’an dengan gaya berkisah ini?

Memang, sebagian ayat al-Qur’an berisi tentang kisah yang beragam. Kisah-kisah al-Qur’an ini, tidak hanya berisi tentang manusia, tetapi juga makhluk yang lain seperti malaikat, jin, burung dan semut, dikisahkan dalam al-Qur’an. Kenyataan itu menunjukkan tentang kelengkapan al-Qur’an sebagai kitab wahyu yang luar biasa. Semua itu terdapat dalam al-Qur’an sebagai ibrah bagi yang membacanya, karena kisah-kisah yang diceritakan oleh al-Qur’an merupakan pengalaman-pengalaman yang sangat berarti bagi kehidupan umat manusia sebagai objek dan sasaran al-Qur’an.

Allah menyelipkan kisah dalam al-Qur’an, bukan tanpa maksud dan guna, tetapi memiliki kegunaan yang banyak. Ada beberapa faidah dalam kisah-kisah yang disebutkan dalam al-Qur’an. Pertama, menjelaskan tentang prinsip-prinsip dakwah dan pokok-pokok syariat yang di bawa oleh setiap nabi. Allah berfirman dalam Qs. Al-ambiya’ : 25 :

Artinya : Dan kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku".

Kedua, meneguhkan hati Rasulullah dan hati umatnya dalam menegakkan agama allah dan menguatkan orang-orang yang beriman atas pertolongan Allah. Allah berfirman Qs. Hud : 120 :

Artinya : Dan semua kisah dari rasul-rasul kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.

Ketiga, kisah merupakan salah satu bentuk sastra yang menarik bagi setiap pendengarnya dan memberikan pengajaran yang dapat membekas dalam jiwa. Allah berfirman dalam Qs. Yusuf : 111 :

Artinya : Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.

Selain itu, kisah ini merupakan salah satu terobosan al-Qur’an, karena al-Qur’an akan dibaca oleh umat manusia, maka kisah merupakan salah satu metode agar al-Qur’an bisa akrab dengan pembacanya. Dengan menyelingi ayat-ayat berkisah, secara otomatis sangat relevan dengan naluri manusia yang suka terhadap kisah, sehingga membaca al-Qur’an akan selalu menarik. Perasaan pembacanya akan merasa dihibur dengan ayat-ayat kisah tersebut.

Oleh karena itu, kisah dalam al-Qur’an secara langsung ataupun tidak langsung merupakan metode yang diberikan oleh al-Qur’an bahwa dalam berdakwah – berkisah – menjadi salah satu bagian yang bisa dilakukan, sehingga akan mudah diterima oleh masyarakat. Berbagai cerita yang disebutkan dalam al-Qur’an menunjukkan tentang berbagai pengalaman yang multi, sehingga bisa dijadikan sebagai gambaran bagi umat manusia, bahwa hal itu memang pernah terjadi. Al-Qur’an mampu merekam kisah-kisah nyata yang dahulu kala pernah terjadi, bahkan kisah-kisah makhluk halus dan kisah binatang juga diceritakan dengan baik oleh al-Qur’an. Hal itu semua menunjukkan bahwa al-Qur’an memang berasal dari Tuhan, tidak akan mungkin ada kitab yang bisa berbuat seperti yang diperbuat oleh al-Qur’an. Mengisahkan pengalaman-pengalaman ribuah tahun sebelum masehi, sangat mudah dilakukan oleh al-Qur’an dengan baik. Sekali lagi itulah al-Qur’an. Sebuah kitab yang turun kepada Nabi Muhammad yang sangat istimewa.