Sabtu, 17 Januari 2009

Gairah Gerakan Pemikiran “Kaum Muda” NU (Pengantar Bedah Buku “ Sarung dan Demokrasi”)

Kita mungkin masih ingat dengan tulisan Ulil Abshar Abdallah di salah satu media nasional beberapa tahun yang lalu. Sebuah tulisan yang sempat menjadi wacana paling hangat dalam konstelasi pemikiran Islam Indonesia. Gagasan menyegarkan kembali pemahaman Islam yang ditawarkan oleh Ulil, mendapatkan respon yang beragam dari umat Islam Indonesia, termasuk juga di kalangan kiai-kiai NU sendiri, dan lebih-lebih kalangan fundamentalis yang menganggap tulisan Ulil telah keluar dari batas kewajaran pemikiran Islam. Ulil pun sempat distempel dengan sejumlah predikat : murtadz, kafir dan bahkan komunitas JIL (Jaringan Islam Liberal) yang dikomandani oleh Ulil sendiri diplesetkan menjadi Jaringan Iblis Liberal. Selain itu, yang cukup menakutkan, ijtihad Ulil dianggap telah sangat menyakiti umat Islam, sehingga harus difatwa mati : Darah Ulil dianggap halal. Sebuah tragedi pemikiran, yang tidak boleh dibiarkan terjadi di masa-masa yang akan datang.

Gagasan “liar” yang ditawarkan oleh Ulil sebagai komandan JIL dan pemegang tongkat komando di Lakpesdam PB NU pada saat itu, secara otomatis menyeret nama NU ke dalam pusaran polemik dan perang pemikiran, apalagi di JIL sendiri, para pemainnya rata-rata berasal dari generasi muda NU. Sangat wajar, dengan pemikiran anak mudanya yang melampaui batas pemikiran yang biasa, NU dianggap telah dirasuki oleh kelompok-kelompok yang hanya akan merongrong akidah umat Islam.

Akan tetapi, terlepas dari polemik dan sorotan miring terhadap gerakan pemikiran yang dikembangkan oleh generasi muda NU ini, harus diakui bahwa aktivitas intelektual yang dilakukan oleh generasi muda NU merupakan langkah yang patut diapresiasi dengan obyektif (dan tetap kritis, karena Ulil wa ashabihi juga manusia yang bisa juga salah dan benar). Sebab, dengan gerakan pemikiran tersebut, setidaknya - menurut penulis - mereka telah mampu membangun kesan bahwa NU tidak lagi tradisional dan konvensional dalam memahami ajaran Islam seperti yang dituduhkan kelompok modernis selama puluhan tahun lamanya. Generasi muda NU telah berhasil membangkitkan semangat berfikir kreatif dan kritis, melampaui pemikiran kaum modernis. Ini tentu saja merupakan sebuah prestasi gemilang bagi NU yang patut diapresiasi di usianya yang ke-83 ini.

Sebab, dalam konteks pemikiran Islam di Indonesia, gagasan yang ditawarkan oleh Ulil dan generasi muda NU yang lain merupakan pembuka kebangkitan pemikiran keagamaan di NU. Sebuah pemikiran yang sangat kritis dan ‘terlalu berani’ dalam melawan arus mainstream pemikiran umat Islam Indonesia, terutama komunitas nahdliyin yang rata-rata masih sangat kental dengan cara pandang kuno dan tradisional, karena bagi anak muda NU, pemikiran keislaman tidak lagi dijadikan sebagai benda mati yang kaku dan beku, tetapi diposisikan sebagai sesuatu yang hidup dan dinamis yang menuntut untuk dikaji dan dibaca, sehingga akan terus mengalami dialektika sepanjang masa, karena – bisa jadi - bagi mereka memperlakukan tradisi dengan cara pandang yang yang riqid, sama halnya dengan membuat Islam tidak lagi kreatif dalam mesepon setiap perubahan. Artinya, memperlakukan tradisi dengan paradigma yang tanpa gerak, sama halnya dengan membunuh tradisi dan kemudian membiarkannya dalam ketidakberdayaan di tengah-tengah perubahan kehidupan yang terus berputar.

Oleh karena itu, hanya dengan keberanian untuk memperlakukan tradisi melalui cara pandang yang kritis dan kreatif, maka tradisi berfikir dalam Islam tidak akan menjadi warisan archaik yang tidak salihun fi kulli zamanin. Warisan ilmu-ilmu tradisional yang mereka kuasai, tidak lagi dipahami sebagai sesuatu yang final, melainkan sebagai obyek kritik yang kadang melahirkan usaha dekonstruksi yang sangat liar. Islam bagi mereka, pada akhirnya tidak hanya dijadikan sebagai rumusan ritual yang tidak responsif, tetapi menjadi pijakan aksi dalam merespon sekian problem mendesak yang dihadapi oleh umat Islam.

Gagasaan pembaharuan terhadap tradisi umat Islam, terutama di kalangan NU, yang ditawarkan merupakan tren baru anak muda NU. Mereka tidak lagi terjebak dengan cara berfikir menerima warisan dengan taken for granted, tetapi mengembangkannya ke arah lain yang lebih proporsional. Islam yang selama ini dipahami hanya sebagai konsep dan aturan hidup, bagi mereka dijadikan sebagai spirit untuk melakukan perubahan dan pmbebasan sosial yang progresif. Mereka telah muncul sebagai kaum muda NU yang resposif terhadap masalah-masalah kekinian, baik pada aras pemikiran maupun dalam makna riil kehidupan masyarakat. Mereka juga melakukan kritik terhadap kemapanan doktrin dan kemerdekaan tradisi dengan cara mengembangkan serta mengapresiasi gagasan baru yang berpijak pada tradisi intelektual mereka (Ahmad Riyadi, 2007 : 15).

Kehadiran mereka dalam konteks pemikiran Islam Indonesia, jelas merupakan sesuatu yang unik dan hampir mustahil, karena latar belakang keilmuan dan tradisi di NU dengan sekian setreotip yang dilekatkan : NU eksklusif, komunitas penghamba terhadap kitab-kitab klasik (padahal kitab turats bagi NU pada dasarnya merupakan khazanah intelektual yang dapat menjadi pemicu intelektualitas kaun nahdliyin), meyakini tradisi masa lalu sebagai sesuatu yang absah dan tidak boleh dilawan. Akan tetapi, semua streotipe tersebut, telah mulai diruntuhkan oleh anak-anak muda NU sendiri. Pemikiran Islam yang mereka usung, telah menjadi icon penting dalam dialektika pemikiran Islam Indonesia, yang telah melampaui tradisi berfikir yang ada.

Dengan kesadaran yang kritis dalam membaca masa lalu dan obyektif dalam menatap masa depan, anak muda NU tampil lebih garang dan lebih progresif dari komunitas lain yang selama ini mengaku progresif. Mereka telah memberikan jawaban utuh, bahwa tidak benar kalau NU diangap eksklusif dan paling pinter memberhalakan tradisi masa lalu. Bagi mereka, tradisi tidak lagi dijadikan sebagai sesuatu yang haram disentuh, melainkan sebagai sesuatu yang mesti dibaca dengan kritis dan kreatif. Sehingga arah gerak pemikiran mereka acapkali telah melampaui apa yang telah selama ini mengungkung NU dengan pemahaman yang liner dan konvensional. Di tangan mereka, landasan gerakan NU yang sebenarnya menekankan pada nilai tawasuth (moderat), i’tidal (proposional), tasamuh (toleran), tawazun (keseimbangan), benar-benar diterjemahkan dalam pergaulan dan pemikiran mereka. Hal ini sekaligus menjadi entry poin, bahwa liberasi pemikiran ala anak NU menjadi fenomena baru dalam kebangkitan gerakan pemikiran Islam Indonesia, dan kalangan NU secara khusus.

Menurut Ahmad Riyadi (2007), ada beberapa alasan mendasar yang melandasi cara berfikir mereka, sehingga menuntut mereka meneguhkan komitmen untuk melakukan pembaharuan dalam komunitas NU. Pertama, kejumudan berfikir. Secara internal NU dianggap telah mengalami stagnasi yang bisa membahayakan perjalanan dan eksistensi NU di masa-masa yang datang, dengan sekian perubahan yang sangat luar biasa. Bagi mereka, perkembangan kehidupan yang dinamis tidak bisa hanya dihadapi dengan cara sistem kajian seperti yang dikembangkan dalam tradisi NU, melainkan dengan cara melakukan upaya penyesuaian dari dalam NU. Artinya, bagi kaum muda NU, penting untuk keluar dari kejumudan tradisi berfikir yang telah mengakar sangat dalam tubuh NU. Kedua, kiprah NU dalam politik formal yang dianggap telah menyeret posisi NU pada wilayah politik praktis, sehingga membuat posisi NU tidak lagi memperhatikan dan mengembangkan potensi umat. Akibatnya, kaum muda NU memiliki inisiatif untuk menggeser gerakan politik formal NU ke arah gerakan Islam kultural sebagaimana yang menjadi misi awal organisasi. Ketiga, pengelolaan organisasi yang dirasakan masih sangat bergantung pada ulama, acapkali menjadikan organisasi ini melemah dalam memenuhi kebutuhan umat. Bagi mereka, pengelolaan NU dengan logika tradisonal, dianggap hanya akan merugikan NU, karena organisasi dengan jumlah pengikut sangat besar ini, tidaklah mungkin dikelola dengan cara-cara yang tradisional, tetapi harus dikelola dengan cara modern dan profesional.

Dengan faktor-faktor tersebut, anak muda NU secara konsisten melakukan perubahan-perubahan yang sangat berarti dalam kultur dan image NU yang dianggap tradisional. Dekonstruksi terhadap tradisi yang mereka lakukan, memiliki kekuataan dahsyat dalam membangunkan kembali apa yang sebenarnya menjadi cita-cita NU, yaitu sebagai organisasi keagamaan dan keummatan dengan berlandaskan pada semangat dan prinsip-prinsip dasar Aswaja.

Akhirnya, ke depan NU seharusnya dapat ber-muhasabah untuk semakin meneguhkan diri sebagai organisasi yang dinamis, kreatif dan produktif dalam menjawab perkembangan zaman. Gerakan pemikiran Islam yang dikembangkan oleh generasi muda NU, harus dilihat dengan kacamata yang obyektif dan rasional. NU tidak boleh bersikap “memusuhi” setiap pemikiran yang ditawarkan oleh generasi mudanya, karena kalau hal itu terjadi, NU sama halnya telah kehilangan nilai-nilai dasar ke-Asawajaannya.

Dengan cara demikian, NU akan tetap dijadikan sebagai simbol organisasi sosial keagamaan yang dinamis dan layak dijadikan sebagai teladan semua pihak, karena NU tidak hanya harus bermakna bagi warga NU sendiri, tetapi NU juga untuk semua. NU harus menjadi simbol kebangkitan pemikiran keagamaan dan agen perubahan yang mampu memberikan sesuau yang bermakna bagi bangsa Indonesia. Selain gerakan pemikiran yang harus dikembangkan, gerakan sosial kemasyarakatan juga harus digerakkan secara dinamis, sehingga posisi NU benar-benar akan multi fungsi dalam mewarnai kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara, atau bahkan masyarakat global (internasional).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih atas komentar anda