Sabtu, 17 Januari 2009

Al-Qur’an dan Bahasa :Signifikansi dan Peran Bahasa dalam Perspektif Wahyu

Mukaddimah

Al-Qur’an adalah sentral pijakan bagi umat Islam. Di dalamnya tidak hanya menjelaskan satu pokok masalah (akidah), tetapi menyangkut aspek kehidupan umat manusia, baik kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat. Al-Qur’an bagi kaum muslimin adalah verbun dei (kalamullah) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad, Nabi yang ummi[1] melalui perantara Jibril selama kurang lebih dua puluh tiga tahun lamanya.[2]

Al-Qur’an bukan hanya menjadi seperangkat kitab yang memberikan garis aturan, tetapi juga menjadi kunci setiap problem kehidupan bagi umat manusia, karena al-Qur’an adalah hudan (petunjuk) bagi umat manusia. Tidak ada kitab maha lengkap dibandingkan al-Qur’an, yaitu sebuah kitab yang memiliki keluarbiasaan yang sangat dahsyat. Segala keistimewaan al-Qur’an tersebut, membuktikan keotentikannya sebagai firman Tuhan, sebagaimana di sebutkan dalam al-Qur’an sendiri : Qs. Hud : 1. Allah berfirman :

Artinya : Alif laam raa, (inilah) suatu Kita ang ayat-ayat-Nya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu

Al-Qur’an adalah dokumen ilahiyah yang memiliki kandungan nilai-nilai universal yang serba lengkap, baik nilai-nilai religiusitas maupun sosial untuk memenuhi kehidupan umat manusia. Al-Qur’an bukan hanya sekedar rangkaian huruf, tetapi memiliki makna yang tersirat di dalamnya. Sejak awal Islam, terutama pasca penurunan Al-Qur’an, umat Islam terus berupaya untuk mengerti dan memahami isi kandungan al-Qur’an,[3] sehingga apa yang diajarkan oleh al-Qur’an dapat dipahami dengan baik dan benar.

Al-Qur’an diturunkan untuk menyeru kepada seluruh umat manusia, yang berbeda taraf pemikiran dan kemampuan akalnya, ada yang diarahkan ke hati, agar terbuka dalam menerima nasihat, dan ada yang diarahkan ke akal, agar merenungkan pembahasan logis dan batil, dan lain sebagainya.[4]

Kandungan universal yang dikandung al-Qur’an tersebut membuktikan tentang keabsahan al-Qur’an sebagai mu’jizat terbesar dalam sejarah kemukjizatan para Nabi dan para Rasul. Salah satu aspek kehebatan al-Qur’an adalah kandungan nilai-nilai kehidupan yang selalu relevan dengan setiap perkembangan zaman. Al-Qur’an selalu mampu mengimbangi bahasa zaman serta mampu memberikan jabawaban-jawaban logis atas problem hidup umat manusia. Inilah salah satu fungsi hudan yang dimiliki oleh al-Qur’an yang oleh Fazlurrahman disebut sebagai dokumen untuk manusia.[5]

Sebagai kitab terlengkap untuk umat manusia, Al-Qur’an mengandung banyak hal di dalamnya, sehingga dapat menjadi referensi untuk memenuhi kebutuhan umat manusia dalam berbagai aspek, mulai masalah, akidah, moral, politik, ekonomi, budaya, dan masalah bahasa. Semua persoalan tersebut dijelaskan dalam al-Qur’an dengan sistematis dan sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh al-Qur’an.

Dalam konteks ini, penulis mencoba untuk memberikan gambaran tentang al-Qur’an dan masalah bahasa yang juga menjadi bagian integral dalam kandungan al-Qur’an. Makalah ini akan mengurai secara ilmiah tentang bagaimana al-Qur’an memandang masalah-masalah bahasa, karena al-Qur’an sebagai sebuah teks juga memiliki nilai-nilai kebahasaan yang luar biasa.

Al-Qur’an : Teks Bahasa

Sebelum memberikan gambaran tentang bahasa menurut al-Qur’an sebagaimana judul makalah ini, penulis merasa sangat penting untuk memberikan catatan singkat tentang al-Qur’an sebagai teks bahasa. Sebab, gambaran tentang bahasa menurut al-Qur’an yang akan dibahas dalam makalah ini, pada dasarnya tetap memiliki kaitan erat dengan posisi al-Qur’an sebagai teks bahasa. Maka, memahami posisi kebahasaan al-Qur’an akan legitimasi tersendiri bagi argumentasi-argumentasi normatif ketika al-Qur’an berbicara tentang bahasa.

Al-Qur’an diturunkan di negeri Arab[6], tidak lepas dari alasan-alasan yang mengitarinya. Artinya, Allah menurunkan al-Qur’an tidak asal menurunkan, tetapi didasarkan atas beberapa pertimbagan yang sangat logis, salah satunya karena faktor geografis dengan segala problem yang ada di dalamnya. Maka Arab menjadi wilayah dan tempat yang sangat strategis bagi penurunan al-Qur’an. Kondisi sosial dan moral bangsa arab – pada waktu itu – yang sangat rusak, menjadi perhatian serius al-Qur’an, sehingga dari tempat inilah al-Qur’an diharapkan dapat tersebar ke seluruh penjuru.[7]

Sejak awal, al-Qur’an telah menyatakan diri sebagai teks paling hebat dan sulit untuk dilawan dengan kekuatan teks manapun. Bahkan nilai-nilai sastra yang terdapat al-Qur’an mampu menundukkan kehebatan sastra para sastrawan sejak awal turunnya di tengah-tengah bangsa-bangsa Arab, sehingga tidak heran apabila sampai saat ini, tidak satupun tokoh sastra dan teks sastra yang mampu menandingi kehebatan al-Qur’an.

Hal itu membuktikan bahwa al-Qur’an bukanlah ide Nabi Muhammad, tetapi murni berasal dari Allah. Al-Qur’an bahkan secara tegas, menolak terhadap kecurigaan bahwa al-Qur’an merupakan produk manusia. Misalnya, al-Qur’an pernah membantah tuduhan yang menyatakan bahwa al-Qur’an diajarkan oleh seorang ‘Ajam (non Arab) kepada Nabi Muhammad.[8]

Namun demikian, biarpun al-Qur’an sebagai pesan ilahi, dimana segala ungkapan yang ada di dalamnya merupakan produk asli Tuhan, al-Qur’an yang kita baca saat ini tetaplah merupakan teks kebahasaan yang bisa dicerna oleh manusia. Tuhan telah membahasakan pesan-pesan ilahiyahnya dengan bahasa manusia, karena hanya cara itulah, pesan-pesan Tuhan akan bisa dicerna dan dipahami oleh umat manusia.

Artinya, al-Qur’an dalam bentuk teks, secara otomatis telah menjadi bagian penting dalam bahasa komunikasi manusia. Transformasi pesan Tuhan dalam bahasa Arab, pada dasarnya merupakan salah satu bukti bahwa Tuhan memang memahami posisi kebahasaan dalam kehidupan, sehingga al-Qur’an harus diterjemahkan dengan bahasa (teks) yang bisa dipahami oleh umat manusia.

Bahasa dalam Perspektif Al-Qur’an

Bahasa adalah alat komunikasi antara satu pihak dengan pihak lain, dan antara makhluk yang satu dengan makhluk yang lain. Komunikasi akan bisa berjalan, sangat ditentukan oleh bahasa yang dipakai. Jadi, dalam tradisi komunikasi, bahasa telah menjadi media esensial yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan, setiap makhluk hidup, tidak bisa dilepaskan dari bahasa yang menjadi alat komunikasi mereka.[9]

Bahasa tidak lain adalah simbol-simbol yang digunakan manusia untuk mengekspresikan ide-ide, gagasan-gagasan, perasaan, pengalaman dan segala yang ada dalam dirinya.[10] Bahasa adalah simbol untuk mengungkapkan diri dan berkomunikasi, karena itu dalam antropologi, manusia disebut animal symbolicum, yaitu makhluk simbol, karena dalam kehidupannya, manusia tidak bisa terlepas dari simbol-simbol, termasuk bahasa.[11]

Dalam konteks ini, agar al-Qur’an bisa dicerna dengan baik oleh objek (sasaran) yang dituju oleh al-Qur’an, sehingga pesan-pesan yang akan disampaikan oleh al-Qur’an dapat terbumi, maka al-Qur’an tidak bisa menafikan aspek budaya atau tradisi umat manusia. Sebab, dengan cara itu, al-Qur’an akan benar-benar menjadi bagian integral dalam kehidupan sosial umat. Ketika al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab, berarti Tuhan “meminjam” alat bahasa masyarakat Arab untuk mengkomunikasikan pesan-pesannya kepada mereka (manusia).[12]

Oleh karena itu, menurut penulis asumsi tersebut memberikan isyarat bahwa al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari masalah bahasa, sehingga bahasa bagi al-Qur’an bisa jadi merupakan kekuataan yang sangat signifikan, karena dengan bahasa, berarti nilai-nilai ajaran al-Qur’an akan dapat tertransformasi dengan baik. Bahasa Tuhan jelas berbeda dengan bahasa manusia, karena Tuhan dengan segala kekuasaannya dan sifat mukhalafatuhu lil hawadist-nya memberikn garis demarkasi bahwa Tuhan tidak pernah sama dengan manusia, termasuk dalam berbahasa. Bahasa Tuhan adalah bahasa yang belum diketahui oleh siapapun. Keghaiban Tuhan, bukan hanya pada dzat Tuhan, tetapi bahasa yang digunakan oleh Tuhan juga misterius. Bahasa yang dipakai oleh al-Qur’an bukan bahasa Tuhan, tetapi bahasa manusia. Tuhan hanya menggunakan atau “meminjam” bahasa Arab untuk mempermudah penyampaian ide-ide ilahiyah Tuhan kepada manusia.

Dengan memakai bahasa Arab, karena al-Qur’an turun pada sosok Nabi dan komunitas yang berbahasa Arab[13], maka al-Qur’an memakai bahasa dimana al-Qur’an diturunkan. Seandainya, al-Qur’an pada awalnya turun dalam komunitas non Arab (misalnya komunitas Madura, Jawa, Jepang, Ingris dan lain sebagainya) secara otomatis al-Qur’an akan meminjam bahasa-bahasa masyarakat yang menjadi objek dimana al-Qur’an akan diturunkan.

Hal itu ditegaskan oleh dalam ayat-Nya :

Artinya : Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (Qs. Yusuf, 12 : 2)

Secara sederhana, penggunaan bahasa Arab dalam al-Qur’an memiliki keterkaitan yang erat dengan kondisi sosial dan budaya. Bahasa Arab seperti yang disebutkan dalam ayat di atas, merupakan bentuk adaptasi al-Qur’an dengan kondisi masyarakat dimana ia diturunkan pertama kali, sehingga bahasa Arab yang pada saat pertama kali al-Qur’an turun yang menjadi pilihan. Walaupun dengan bahasa Arab, tetapi al-Qur’an tetap merupakan wahyu yang diarahkan untuk kepentingan seluruh masyarakat dunia, sehingga tidak bisa al-Qur’an hanya dibatasi pada komunitas orang Arab. Setidaknya hal ini yang menjadi pertimbangan Ibnul Jazari ketika memberikan penafsiran terhadap ayat di atas. Menurutnya, secara global maupun secara terperinci, al-Qur’an bukanlah milik orang Arab.[14]

Kemudian dalam ayat yang lain, Allah berfirman :

Artinya : Kami tidak mengutus seorang Rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana (Qs. Ibrahim, 14 : 4)

As-Suyuti menafsirkan kata bi lisani dengan bi lughghati yang berarti “dengan bahasa”.[15] Dengan menggunakan bahasa yang dipakai oleh kaum dimana al-Qur’an diturunkan, akan mempermudah al-Qur’an bisa diterima dan dipahami. As-Suyuti menafsirkan kata liyubayyina lahum dengan liyufhimahum ma ata bihi.[16]

Dalam keterkaitan ini, pilihan terhadap bahasa Arab, tidak berarti al-Qur’an hanya diperuntukkan terhadap bangsa Arab, karena al-Qur’an telah mengklaim diri sebagai hudan bagi seluruh umat manusia, maka al-Qur’an pada dasarnya menjadi milik semua bangsa dan semua etnis yang ada dalam kehidupan ini. Dan, bahasa Arab yang dipakai oleh al-Qur’an – dalam pembacaan sederhana – hanya menjadi alat untuk transformasi pesan-pesan yang diajarkan oleh al-Qur’an, sehingga dalam satu waktu dan komunitas tertentu, maka al-Qur’an bisa dibahasakan ke dalam beberapa bahasa dimana al-Qur’an diajarkan. Al Quran diturunkan dalam bahasa Arab itu, bukanlah berarti bahwa Al Qu'an untuk bangsa Arab saja tetapi untuk seluruh manusia.[17]

Artinya, bahasa Arab hanyalah salah satu media yang dipakai oleh al-Qur’an untuk mengeskpresikan ide-ide ilahiyahnya dan tidak betsifat ekslusif serta bias etnis, karena al-Qur’an bukan hanya untuk orang Arab, tetapi untuk semua, sehingga mengalihbahasakan al-Qur’an ke dalam berbagai bahasa merupakan sesuatu yang seharusnya. Itulah yang dimaksud dengan istilah bahasa kaum-nya, sehingga al-Qur’an dengan mudah berdialog dengan mereka. Hal ini sekaligus menjadi salah satu bukti kesejarahan al-Qur’an. Menurut Shibab, ayat-ayat al-Qur’an turun berdialog dengan mereka, mengomentari keadaan dan peristiwa-peristiwa yang mereka alami, bahkan menjawab setiap pertanyaan yang muncul di tengah-tengah masyarakat ketika itu.[18]

Dalam konteks ini, Hamka dalam Tafsir al- Azhar-nya menafsirkan ayat di atas dengan argumentasi yang sama bahwa Nabi diutus untuk seluruh umat manusia, tetapi karena diantara salah satu umat manusia itu yang mula didatangi adalah kaumnya (kaum Quraish) yang notabene memahami bahasa Arab, dengan bahasa Arab itulah maka al-Qur’an diturunkan ” supaya dia jelaskan kepada mereka”. Dan setelah mendengarkan penjelasan wahyu dalam bahasa mereka, sampai terang-terangan, sehingga kelak akan mudah menyebarkan bahasa itu kepada bangsa-bangsa yang berbahasa lain. Sebab, menurut Hamka, maksud Allah adalah menggali isi (al-Qur’an, penulis). [19]

Bahasa : Media Transformasi Ajaran Qur’an

Visi utama kedatangan al-Qur’an adalah sebagai rahmatan lil alamin. Al-Qur’an turun ke muka bumi memiliki agenda besar untuk menyempurnakan akhlak yang baik serta melakukan perlawanan terhadap berbagai kedzoliman yang terjadi sealigus menaburkan kasih sayang di tengah-tengah umat manusia secara global. Arab hanyalah salah satu tempat transit penyebaran ajaran al-Qur’an ke seluruh pelosok dunia, sehingga tidak bisa dibenarkan bahwa Islam adalah Arab dan Arab adalah Islam.

Demikian pula, ungkapan bahwa al-Qur’an adalah milik orang Arab, hal itu tidak dapat dibenarkan karena al-Qur’an ada dan turun untuk semua umat manusia di muka bumi ini. Oleh karena itu, ayat-ayat yang menyebutkan tentang penurunan al-Qur’an dengan bahasa Arab, seperti yang telah penulis singgung di atas, tidak bisa ditafsirkan dengan cara pandang yang ekslusif, karena hal itu hanya akan membatasi ruang gerak al-Qur’an sebagai kitab universal.

Menurut penulis, istilah bilisani qaumihim merupakan ajaran sentral al-Qur’an dalam memposisikan bahasa kaum yang menjadi objek garap al-Qur’an. Sebab, al-Qur’an tidak akan dapat disebarkan, apabila al-Qur’an tidak disesuaikan dengan simbol-simbol yang bisa dipahami oleh masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, istilah bi lisani kaumihim dapat ditafsirkan secara transformatif dan kontekstual, guna memperlebar sayap penyebaran al-Qur’an ke dalam berbagai komunitas yang notabene memiliki keberagaman bahasa.[20]

Oleh karena itu, penyebaran al-Qur’an harus dilakukan dengan cara – salah satunya – menguasai bahasa, karena bahasa merupakan corong utama penyebaran al-Qur’an. Apalagi, bahasa adalah bagian dari sebuah peradaban, maka mengusai sebuah peradaban secara otomatis harus menguasai bahasa yang menjadi corong utama peradaban itu sendiri. Ajaran al-Qur’an akan dapat dikenal apabila umat Islam mampu menawarkan berbagai gagasan dan nilai-nilai al-Qur’an dengan memanfaatkan media bahasa umat manusia, karena bahasa pada dasarnya adalah kekuataan vital dalam penyebaran ajaran al-Qur’an.

Dalam konteks kekinian, istilah bi lisani kaumihim, bisa merujuk pada bahasa besar dunia yang tengah menjadi sentral bahasa saat ini, antara lain bahasa Ingris dan bahkan bahasa mandarin. Karena dua bahasa ini, saat ini tengah menjadi trend bahasa di tingkat internasional, sehingga istilah bi lisani kaumihim bisa ditafsirkan – salah satunya- dengan bi lisani masyarakat internasional, bisa masyarakat Barat atau masyarakat berbahasa mandarin.[21] Artinya, menurut hemat penulis, pembicaraan tentang bahasa yang ada dalam al-Qur’an memiliki tujuan yang universal, walaupun diungkapkan dalam bahasa yang kasuistik. Al-Qur’an tentu saja saja tidak bemaksud untuk mengagung-agungkan satu bahasa manusia, karena setiap komunitas manusia memiliki bahasanya sendiri yang beragam. Setiap bahasa pada prinsipnya adalah sama : sama-sama sebagai simbol dan alat komunikasi antara manusia dengan manusia yang lain.

Sebab, apabila al-Qur’an diklaim hanya dengan kenyataan bahasa yang dipakai, secara otomatis akan menghilangkan peran universal yang dibawa oleh pesan ilahi tersebut. Sementara al-Qur’an sejak awal menegaskan untuk semua bangsa dunia, sehingga tidak bisa dibatasi hanya untuk satu dan dua bangsa. Bentuk universalitas al-Qur’an tersebut direpresentasikan dalam istilah lil alamin, seperti dalam dua ayat berikut :

Artinya : Dan Al Quran itu tidak lain hanyalah peringatan bagi seluruh umat. (Qs. Al-Qalam : 52)

Kemudian dalam surat Yusuf :

Artinya : Dan kamu sekali-kali tidak meminta upah kepada mereka (terhadap seruanmu ini), itu tidak lain hanyalah pengajaran bagi semesta alam (Qs. Yusuf : 104)

Oleh karena itu, visi universalitas tersebut menegaskan bahwa al-Qur’an tidak diarahkan untuk satu komunitas tertentu, tetapi untuk semua umat manusia, sebagaimana yang dijelaskan di atas, sehingga pemahaman terhadap al-Qur’an dengan bahasa yang lain menjadi sesuatu yang niscaya. Artinya, bahasa al-Qur’an (bahasa Arab), hanyalah bahasa sementara yang dipinjam oleh al-Qur’an, tetapi bisa dipahani dengan bahasa-bahasa yang lain sesuai dengan kebutuhan masyarakat dimana al-Qur’an harus diajarkan.

Al-Qur’an sebagai tadzkirah seperti yang ditegaskan dalam dua ayat di atas, semakin membenarkan adanya keterkaitan rasional antara visi al-Qur’an dengan kehidupan umat manusia (alamin). Ibnul Khotib memberikan ilustrasi dalam memahami ayat tersebut dengan pernyataan bahwa Allah menurunkan al-Qur’an kepada Nabi Muhammad dan masyarakat Arab, sama halnya dengan menegaskan bahwa al-Qur’an diturunkan sebagai tadzkirah untuk seluruh umat manusia dan Nabi Muhammad dan masyarakat Arab, sehingga al-Qur’an harus disampaikan dengan menggunakan bahasa manusia, sehingga al-Qur’an bisa dipahami.[22]

Dalam kerangka ini, visi universalitas yang ditawarkan oleh al-Qur’an sebagai pegangan untuk seluruh umat manusia, secara otomatis meniscayakan adanya pemahaman yang sama dalam memposisikan al-Qur’an. Artinya, dalam pandangan penulis, pada dasarnya al-Qur’an tidak hanya tersentral dalam satu bahasa, tetapi bisa dipahami dengan menggunakan berbagai bahasa yang ada, sehingga keberadaan al-Qur’an akan menjadi pegangan bangsa lain dengan bahasa yang mereka gunakan. Disinilah penguasaan terhadap bahasa-bahasa umat manusia menjadi salah satu keniscayaan dilakukan dalam menyebarkan al-Qur’an, agar al-Qur’an dapat dipahami dan diamalkan oleh masyarakat yang non Arab sekalipun. Posisi bahasa dalam hal ini, menjadi kunci utama untuk diprioritaskan, karena hanya spirit universalitas al-Qur’an yang telah menegaskan diri sebagai kitab untuk seluruh umat manusia, sehingga menuntut adanya kesadaran yang tinggi semua pihak untuk menjadikan seruan al-Qur’an tersebut ke seluruh penjuru dunia, sesuai dengan bahasa mereka masing-masing. Sebab, dengan demikian, al-Qur’an sebagai kitab suci terakhir akan terbumikan di mana-mana. Al-Qur’an harus diupayakan oleh umat Islam menerobos perkembangan zaman, melintasi batas-batas geografis, dan menembus lapisan-lapisan budaya yang pluralistik, karena kandungan al-Qur’an memang selalu sejalan dengan kemaslahatan umat manusia.[23]

Penutup

Al-Qur’an benar-benar merupakan kitab mukjizat yang luar biasa. Al-Qur’an mampu menundukkan segala kehebatan umat manusia, baik secara konsep maupun tatanan bahasa yang digunakan. Posisi bahasa yang dipakai oleh al-Qur’an, memang mengandung kekuataan sastra yang luar biasa, karena pada saat al-Qur’an turun, masyarakat Arab memiliki kemampuan di bidang sastra. Dalam konteks bahasa, al-Qur’an telah membuktikan bahwa tidak ada teks manapun yang mampu melawan kehebatan al-Qur’an.

Al-Qur’an adalah teks untuk semua umat manusia dengan berbagai fungsi yang beragam, salah satunya sebagai hudan untuk umat manusia. Turunnya al-Qur’an tidak bersifat sektoral dan etnisitas, tetapi mencakup seluruh umat manusia dalam lintas kebudayaan, etnis dan bahasa yang beragam. Bahasa Arab hanyalah bahasa awal yang dipakai oleh al-Qur’an dan tidak bisa diartikan bahwa hanya bahasa Arab yang menjadi bahasa al-Qur’an. Bahasa al-Qur’an adalah bahasa semua bahasa, karena tujuan adalah untuk seluruh umat manusia dengan segala bahasa yang beragam.

Dalam konteks ini, posisi bahasa dalam al-Qur’an tentu saja menempatkan pada posisi yang sangat strategis, karena ajaran tentang bahasa pada dasarnya memiliki keterkaitan dengan penyebaran ajaran al-Qur’an sebagai teks untuk seluruh manusia. Al-Qur’an memang tidak secara jelas menjelaskan tentang keharusan menguasai bahasa, tetapi dari beberapa ayat yang menjelaskan tentang tujuan al-Qur’an agar dapat berfungsi untuk seluruh umat manusia, maka bahasa sebagai media penyampai pesan-pesan substansial al-Qur’an merupakan sesuatu yang sangat niscara.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Dr. Zulkarnain. Yahudi dalam Al-Qur’an :Teks, Konteks & Diskursus Pluralisme Agama. Jogjakarta, el-SAQ Press, 2007

Adnan Amal, Taufik. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an. Jakarta : Alvabet, 2005

Husein adz-Dzahabi, Muhammad, At-Tafsir wa al-Mufassirun. Mesir, Dar al-Maktub : 1976

Jalalain, Imam. Tafsir al-Qur’an al-Adlim. Semarang : Thoha Putara, tt

Jurnal Studi al-Qur’an. Vol. I, Januari 2006, hlm. 2

Khatib, Ibnul. Al-Furqan. Beirut, Darul Kutub al-Ilmiah,tt

Mansyur, M. dkk, Metodologi Living Qur’an dan Hadith. Jogjakarta : TH Press, 2007

Musa, Dr. M. Yusuf. Al-Qur’an dan Filsafat : Penuntun Mempelajari Filsafat . Jogjakarta : Tiara Wacana, 1991

Rahman, Fazlurrahman. Tema Pokok al-Qur’an. Bandung : Pustaka, 1996

Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung : MIzan, 1992

Shihab, M. Qurays. Mu’jizat al-Qur’an : Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Ghaib. Bandung : Mizan, 1998

Syahrur, M. Dialektika Kosmos & Manusia : Dasar-Dasar Epistimologi Qur’ani. Bandung : Nuansa, 2004

Ushama, Dr. Thameem. Metodologi Tafsir al-Qur’an : Kajian Kritis, Objektif & Komprehensif . Jakarta : Riora Cipta, 2000

Wahid Wafi, Dr. Abdul. Nasy’atul Lughatul Insaniyah. Mesir : Darun Nahdlah, tt



[1] Muhammad Husein adz-Dzahabi, At-Tafsir wa al-Mufassirun (Mesir, Dar al-Maktub, 1976), hlm. 32

[2] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an (Jakarta, Alvabet, 2005), hlm. 1

[3] M. Mansyur, dkk, Metodologi Living Qur’an dan Hadis (Jogjakarta, TH Press, 2007), hlm. 35

[4] Dr. M. Yusuf Musa, Al-Qur’an dan Filsafat : Penuntun Mempelajari Filsafat (Jogjakarta, Tiara Wacana, 1991), hlm. 2

[5] Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur’an (Bandung, Pustaka, 1996), hlm. 1

[6] Dr. Thameem Ushama, Metodologi Tafsir al-Qur’an : Kajian Kritis, Objektif & Komprehensif (Jakarta, Riora Cipta, 2000), hlm. 33

[7] Quraysh Shihab memberikan gambaran yang menarik soal pilihan penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an. Menurutnya, kalau anda ingin menyampaikan pesan ke seluruh penjuru dunia, maka sebaiknya anda berdiri di tengah dan di jalur yang memudahkan pesan itu tersebar. Hindari tempat dimana ada suatu kekuatan yang dapat menghalangi dan atau merasa dirugikan dengan penyebarannya, kemudian pilih penyampai pesan yang simpatik, berwibawa, dan berkemampuan, sehingga menjadi daya tarik tersendiri. Menurut Shihab, Timur Tengah merupakan jalur penghubung antara Timur dan Barat. Wajarlah jika kawasan ini menjadi tempat menyampaikan pesan ilahi yang terakhir dan yang ditujukan kepada seluruh manusia di seluruh penjuru dunia. Lihat. Qurays Shihab, Mu’jizat…. hlm. 105-106

[8] Lihat. M. Qurays Shihab, Mu’jizat al-Qur’an : Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Ghaib (Bandung, Mizan, 1998), hlm. 89.

[9] Tentang kemunculan bahasa dan fase-fase perkembangan bahasa manusia, bisa lihat dalam M. Syahrur, Dialektika Kosmos & Manusia : Dasar-Dasar Epistimologi Qur’ani (Bandung, Nuansa, 2004), hlm. 162-170. Lihat juga dalam Dr. Abdul Wahid Wafi, Nasy’atul Lughatul Insaniyah (Mesir, Darun Nahdlah, tt). Buku ini menjelaskan tentang kemunculan bahasa manusia dan dialektikanya dalam kehidupan umat manusia.

[10] Dr. Zulkarnain Abdullah, Yahudi dalam Al-Qur’an :Teks, Konteks & Diskursus Pluralisme Agama (Jogjakarta, el-SAQ Press, 2007), hlm. 71

[11] Ibid. hlm. 71

[12] Ibid. hlm. 71

[13] Menurut Shihab, bahasa Arab termasuk rumpun bahasa Semit, sama dengan bahasa Ibrani, Aramaik (Aramea), Suryani, Kaldea, dan Babylonia. Lihat. Shihab, ”Mukjizat al-Qur’an….”. hlm. 90

[14] Ibnul Khatib, Al-Furqan (Beirut, Darul Kutub al-Ilmiah,tt), hlm. 105

[15] Imam Jalalain,Tafsir al-Qur’an al-Adlim (Semarang, Thoha Putara, tt), hlm. 206

[16] Ibid. hlm. 206

[17] Lihat catatan kaki Al-Qur’an dan Terjemahanya yang disusun DEPA RI (Surabaya, Mahkota, 1989), hlm. 14

[18] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung, MIzan, 1992), hlm. 23

[19] Hamka, Tafsir al-Azhar, juz XIII-XIV (Jakarta : Panjimas, 1983), hlm. 117-118

[20] Dalam makalah ini, penulis sengaja tidak membahas tentang masalah pro kontra penerjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa selain bahasa Arab, serta berbagai argument yang menyatakan bahasa Arab sebagai bahasa yang sulit untuk diterjemahkan ke dalam bahasa lain dengan murni. Dalam makalah ini, penulis hanya memfokuskan pada persoalan bahasa yang – menurut penulis – ada dalam al-Qur’an, kemudian memiliki relevansi dengan posisi al-Qur’an sebagai ajaran universal, sehingga harus dapat dipahami sesuai dengan konteks dimana masyarakat yang menjadi sasaran al-Qur’an.

[21] Penjelasan tentang pengalihbahasaan al-Qur’an ke dalam bahasa-bahasa besar dunia, bisa dilihat dalam Dr. Thameem Ushama, lop. cit. hlm. 98-102

[22] Ibnul Khotib, lop. cit. hlm. 185

[23] Jurnal Studi al-Qur’an. Vol. I, Januari 2006, hlm. 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih atas komentar anda