Sabtu, 17 Januari 2009

Al-Qur’an dan Tafsir Hadith :Mencari Dasar “Tafsir Hadith” dalam Teks Al-Qur’an

Mukaddimah

Al-Qur'an adalah sumber utama dalam Islam yang turun sebagai kitab terakhir dalam sejarah kitab-kitab yang telah diturunkan oleh Allah. Sebagai kitab ilahi yang paripurna, al-Qur’an tentu saja memiliki kandungan pesan yang super lengkap, sebagai pegangan bagi umat manusia. Pada dasarnya al-Qur’an memang bukanlah teks seperti teks-teks yang lain. Al-Qur’an adalah firman ilahi yang sangat suci dan sekaligus menjadi teks ilahi yang tetap memiliki kesucian. Sebagai firman Tuhan, al-Qur’an selalu menampakkan wajahnya yang misterius, sehingga dibutuhkan proses pemahaman yang tidak ringan. Setiap ayat yang ada dalam al-Qur’an tidak bisa hanya dipahami secara telanjang, tetapi harus dilakukan dengan ijtihad yang maksimal.

Mengungkap pesan yang tersirat di balik ayat-ayat al-Qur’an membutuhkan kemampuan dan kemauan yang keras. Sebab, pesan-pesan di balik ayat al-Qur’an, menuntut adanya penafsiran sesuai dengan prosedur penafsiran yang ada, sehingga al-Qur’an bisa berbicara sesuai dengan apa yang menjadi tujuan al-Qur’an. Teks al-Qur’an inilah yang menjadi fokus dalam konteks keagamaan. Setiap agama pasti memiliki teks sebagai basis ajaran dan pesan, termasuk agama Islam yang terkenal dengan al-Qur’an. Apalagi, menurut Nasaruddin Umar bahwa setiap agama lahir dengan teksnya masing-masing : Islam dengan risalah Muhammad berupa al-Qur’an dan Sunnah. Teks al-Qur’an dan Sunah tersebut ditafsirkan oleh Nabi dan sahabat dari bahasa Tuhan, sekalipun tidak dengan metode yang sangat rigid.[1]

Makalah ini akan secara fokus melakukan kajian terhadap dasar-dasar teologis tentang tafsir hadist dalam al-Qur’an, apalagi tafsir hadith telah menjadi salah satu program konsentrasi di perguruan tinggi, sehingga program ini tentunya memiliki kaitan dengan apa yang terkandung dalam al-Qur’an.

Tafsir hadist, bukan hanya sekedar program, tetapi memiliki tujuan yang strategis dalam memposisikan al-Qur’an sebagai teks ilahi yang dipersembahkan untuk kehidupan umat manusia. Tafsir hadith merupakan bagian dari agenda besar untuk memahami al-Qur’an (melalui proses penafsiran) dan hadith secara komprehensif, karena dengan cara yang demikian, maka Islam yang tercermin dalam al-Qur’an dan hadith tersebut akan dapat dikuak dan ditransformasi dalam kehidupan riil masyarakat.[2]

Qur’an-Hadith : Sebagai Pegangan Fundamental

Sebagai pegangan dasar bagi umat Islam, maka al-Qur’an dan Hadith merupakan kekuatan yang tidak bisa dilepaskan. Al-Qur’an dan hadith adalah kekuatan dimana umat Islam berpegang. Dalam sebuah hadith disebutkan bahwa telah aku tinggalkan untuk kamu semua dua benda. Kamu tidak akan sesat, manakala berpegang teguh kepadanya. Kitab Allah dan sunnahku.[3]

Al-Qur’an dan hadith mengandung berbagai konsep tentang ajaran Islam, sehingga menjadi sumber utama dalam agama Islam. Apabila tetap konsisten berpegang pada dua hal tersebut, niscaya umat Islam tidak akan pernah tersesat, karena al-Qur’an dan hadith selalu akan menjadi penuntun ke arah yang baik sesuai dengan garis-garis risalah yang telah ditentukan. Sebagai kitab yang diwahyukan oleh Allah, maka al-Qur’an menjadi sumber hukum dan petunjuk serta menjelaskan tentang sistem yang komprehensif dan metode yang praktis bagi kehidupan umat manusia.[4]

Demikian pula halnya dengan hadist Nabi, banyak hal yang diajarkan di dalamnya dan memiliki kandungan ajaran yang cukup signifikan, karena hadith merupakan refleksi tentang pendapat, perilaku dan taqrir Nabi yang bersumber dari wahyu. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah adalah representasi dari wahyu ilahi yang tidak bisa dinafikan. Rasulullah adalah cerminan wahyu yang substansial, karena Rasulullan (hadith) bersumber secara langsung dari apa yang diajarkan oleh Allah. Dalam al-Qur’an, Allah berfirman :

Artinya : Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak, kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir (Qs. Al-Maidah : 67)

Selain perintah menyampaikan gagasan ilahi, dalam al-Qur’an, Allah juga memberikan perintah agar mematuhi apa yang disampai oleh Rasulullah. Kewajiban mematuhi Rasulullan ini ditegaskan dalam banyak ayat oleh Allah[5] sebagai bukti penegasan Allah bahwa Muhammad memang benar-benar cerminan suara Tuhan. Dalam ayat yang lain, Allah berfirman :

Artinya : Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-(Nya) dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajiban Rasul kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang (Qs. Al-Maidah : 92)

Dalam konteks ini, penegasan ayat di atas memberikan isyarat nyata bahwa keberadaan Rasulullah di muka bumi ini, sebagai penerjemah gagasan dan pesan-pesan Tuhan untuk ditransformasi ke dalam kehidupan yang nyata. Menurut Dr. Ahmad Umar Hasyim bahwa sunah nabawiyah (hadith) merupakan penjelas terhadap al-Qur’an, hujjah dalam penetapan hukum serta sumber kedua dalam syariat Islam.[6]

Oleh karena itu, posisi hadith dalam Islam memiliki posisi yang utama setelah al-Qur’an dan sama-sama menjadi sumber hukum Islam, sehingga – meminjam kerangka Quraish Shihab – dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah yang tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dengan ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari wahyu al-Qur’an.[7] Artinya, baik hadith maupun al-Qur’an merupakan rujukan utama umat Islam yang harus ditaati dan dipatuhi apapun ketentuan yang telah digariskan, sehingga tidak akan kehilangan pegangan. Secara substansial hadit dan al-Qur’an, merupakan dua sumber Islam yang sangat fundamental dan mutlak harus dipatuhi. Allah berfirman :

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (Qs. An-Nisa’ : 59)

Masalah kepatuhan terhadap kedua sumber ini, merupakan bagian dari komitmen iman bagi seorang muslim, karena salah satu paremeter keimanan adalah kecintaan dan kemauan yang kuat untuk memperlakukan kedua sumber ajaran Islam tersebut sebagai pegangan hidup.

Dalam hal ini, Shihab menulis bahwa ulama tafsir dalam mengamati perintah taat kepada Allah dan Rasul-Nya, yang disebutkan dalam al-Qur’an dengan menggunakan dua redaksi yang berbeda. Pertama, athi’u Allah wa al-rasul, dan kedua adalah athi’u Allah wa athi’u al-rasul. Menurut Shihab, perintah pertama mencakup kewajiban taat kepada beliau dalam hal-hal yang sejalan dengan perintah Allah, karena itulah, redaksi tersebut hanya mencukupkan satu saja dalam menggunakan kata ahi’u. Perintah kedua, mencakup kewajiban taat kepada beliau, walaupun tidak disebutkan secara eksplisit dalam al-Qur’an, bahkan ketaatan kepada Nabi tersebut mungkin harus dilakukan terlebih dahulu – dalam kondisi tersetentu – walaupun saat melaksanakan perintah Allah.[8]

Gambaran tersebut semakin jelas menunjukkan bahwa al-Qur’an dan hadith sama-sama memiliki posisi dalam hukum Islam. Keduanya tetap menjadi rujukan yang tidak sangat mendasar. Patuh terhadap hadith tentu saja harus memiliki tingkat kepatuhan terhadap al-Qur’an. Perintah Allah mematuhi Rasul, secara otomatis memerintahkan untuk mematuhi hadith yang dikeluarkan oleh Nabi Muhammad, karena patuh pada Nabi berarti telah patuh pada Allah.

Artinya : Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka (Qs. An-Nisa’ : 80)

Signifikansi Memahami al-Qur’an dan Hadith

Al-Qur’an dan juga hadith pada dasarnya bukanlah teks organik yang bisa bergerak sendiri, tetapi dibutuhkan media untuk menggerakkannya, agar keduanya dapat berfungsi dengan baik dalam kehidupan umat manusia. Al-Qur’an yang telah menyatakan dirinya sebagai penjelas bagi umat manusia, tidak bisa diperlakukan dengan hanya dengan cara-cara yang tidak visioner, setidaknya al-Qur’an dapat diajak berbicara dengan baik, sehingga al-Qur’an dapat menjadi teks kreatif dan selalu akrab dengan kenyataan yang terjadi dalam kehidupan umat manusia. Al-Qur’an sebagai penjelas ini, ditegaskan oleh Allah dalam al-Qur’an :

Artinya : Dan kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman (Qs. An-Nahl : 64)

Dalam keterkaitan ini, posisi Nabi Muhammad (hadith) sebagai penjelas (mubayyin) terhadap al-Qur’an, yang telah menjadi teks melalui kerja-kerja para ulama hadith merupakan fakta bahwa hadith yang merefleksikan tentang ajaran Rasulullah. Oleh karena itu, hadith dan al-Qur’an pada gilirannya memiliki posisi yang sama sebagai sumber Islam yang harus dapat dipahami dengan maksimal dan holistik. Hadith yang berasal dari Nabi pada dasarnya sebagai tabyin terhadap al-Qur’an, agar al-Qur’an dapat dipahami dan diamalkan sesuai dengan kehendak al-Qur’an. Sebab, ayat-ayat al-Qur’an yang global, seringkali membutuhkan ulasan kembali dari Nabi, sehingga menjadi satu pemahaman yang utuh. Tanpa ada ulasan ulang dari Nabi, tentu saja kehendak al-Qur’an – bisa – kurang maksimal dipahami.

Sebab, tugas Nabi memang menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an, sehingga penjelasan-penjelasan Nabi Muhammad tidak bisa dipisahkan dari pemahaman maksud ayat-ayat al-Qur’an.[9] Nabi-lah manusia yang mendapatkan otoritas penuh untuk menjelaskan al-Qur’an.[10]

Oleh karena itu, penjelasan yang dilakukan oleh Nabi sudah mutlak kebenarannya, karena Nabi dipandu oleh wahyu dalam setiap aktivitas yang dilakukan, sehingga apa yang diucapkan, dilakukan dan ditaqrirkan oleh Nabi adalah refleksi tentang ajaran wahyu. Dalam kitab Ar-Risalah, Imam Syafi’ie mengemukakan bahwa penjelasan-penjelasan atas arti dan maksud al-Qur’an yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW bermacam-macam bentuk. Ia dapat berupa ucapan, perbuatan, tulisan ataupun taqrir (pembenaran berupa diamnya beliau terhadap perbuatan yang dilakukan oleh orang lain).[11]

Posisi sebagai penyampai pesan ilahi dengan segala penjelasan yang dilakukan oleh Rasulullah merepresentasikan kebenaran wahyu, sehingga tidak mungkin ada kesalahan, karena Rasulullah telah dinyatakan sebagai Rasul yang terpelihara dari kesalahan. Berbagai ketetapan yang telah ditentukan oleh Rasulullah mesti diikuti, karena Rasulullah telah diberikan hak dan wewenang untuk menjelaskan keberadaan wahyu, apalagi tidak ada manusia yang layak diteladani, selain ketadalan Rasulullah sebagai cerminan utuh dari wahyu. Allah berfirman :

Artinya : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (Qs. Al-Ahzab : 21)

Dalam konteks ini, al-Qur’an dan hadith merupakan fakta teks sakral yang sama-sama-sama memuat pesan-pesan Tuhan, yang membedakan adalah al-Qur’an langsung dibuat oleh Tuhan, sementara al-Hadith merupakan ekspresi Nabi yang bersumber dari tuntunan wahyu. Namun demikian, keduanya sama-sama memiliki posisi yang sama sebagai sumber ajaran Islam. Al-Qur’an (dan juga hadith) pada gilirannya harus dipahami dan diamalkan, sehingga hidup menjadi Qur’ani dan sejalan dengan yang terangkum dalam sunah Nabi. Itulah hidup ideal, yaitu kehidupan yang akrab dengan nilai-nilai wahyu, baik yang bersumber pada teks al-Qur’an maupun teks hadith.

Pemahaman terhadap al-Qur’an mutlak harus selalu dilakukan dengan cara menafirkan dan mengalisa setiap gagasan yang tertera dalam rangkaian ayat-ayat al-Qur’an. Allah berfirman :

Artinya : Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran (Qs. Shad : 29)

Menurut Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo, ayat tersebut menekankan agar kaum yang berfikir (ulul albab) dapat melakukan pengkajian sesuai dengan bidang mereka masing-masing.[12] Kajian ini tentu saja dengan menjadikan wahyu sebagai objek utamanya, karena dalam ayat di atas Allah memerintahkan untuk mengkaji al-Kitab secara serius. Karena al-Kitab sebagai sentral teks yang memuat pesan-pesan utama Tuhan, kemudian al-hadith sebagai penjelas terhadap al-Kitab juga harus diposisikan dengan posisi yang sama, yaitu sama-sama ditempatkan sebagai objek kaji. Karena perintah mengkaji al-Qur’an secara otomatis juga mengandung perintah mengkaji al-hadith.

Perintah menganalisa dan memahami wahyu secara langsung ataupun ataupun tidak, menurut hemat penulis yang pada gilirannya menjadi cikal bakal dimunculkannya jurusan tafsir hadith, yaitu sebagai media untuk melakukan eskplorasi rasional terhadap al-Qur’an dan hadit sesuai dengan standar pengkajian yang relevan dan bisa mewakili tujuan kedua sumber ajaran Islam tersebut. Dengan cara demikian, al-Qur’an dan hadith akan selalu hidup dan selalu berbicara dengan bahasa zamanya yang notabene terus berubah, apalagi misi dasar al-Qur’an (dan hadith) adalah sebagai penuntun umat yang senantiasa mampu memberikan solusi yang cerdas atas problem kehidupan umat yang terus berkembang.

Dengan kata lain, perintah memahami al-Qur’an dan hadith, seperti yang tertera dalam ayat al-Qur’an tersebut mengandung perintah untuk selalu menghidupkan al-Qur’an dan hadith, karena hanya dengan cara itu, ajaran Tuhan akan terbaca dan terbumikan dengan baik. Pemahaman atas al-Qur’an harus dilakukan dengan tetap tidak menghilangkan aspek-aspek terkait dengan al-Qur’an, sehingga ide-ide segar al-Qur’an tidak akan terbonsai hanya karena penafsiran yang sempit. Sebab, penafsiran yang sempit atas al-Qur’an hanya akan mempersempit ajaran universal yang ditawarkan al-Qur’an.

Al-Qur’an telah memberikan ruang yang lebar bagi umat Islam manusia ( baik muslim ataupun non muslim) untuk mengkaji dan memahami ayat-ayat ala-Qur’an, sampai akhirnya dapat menemukan kebenaran di balik teks-teks al-Qur’an. Kita tidak boleh merasa “kerdil hati” untuk melakukan kajian dan penafsiran al-Qur’an sesuai dengan kondisi dan setting sosial yang terjadi, karena al-Qur’an merupakan teks yang terbuka untuk dipahami.[13]

Disinilah signifikansi tafsir-hadit memiliki peran yang substansial dalam memetakan arah perkembangan penafsiran Islam. Tugas besar para sarjana muslim adalah melakukan telaah yang mendalam serta konsisten terhadap al-Qur’an dan hadith, karena tanpa ada konsistensi untuk melakukan hal itu, maka pesan al-Qur’an dan hadith akan terhenti sampai “disini”. Artinya, menafsirkan teks al-Qur’an dan hadith pada dasaranya adalah sebagai media untuk mengajak al-Qur’an dan hadith “berteriak” memberikan respon yang positif terhadap setiap perkembangan kehidupan umat manusia di era kekinian, sehingga suara al-Qur’an dan hadith akan selalu terdengar lantang ke setiap penjuru kehidupan.

Disinilah mungkin perlu adanya perubahan paradigma dalam memahami agama (al-Qur’an dan hadith), yaitu dari paradigma “kemasalaluan” ke arah paradigma “kemasakinian”, karena menafsirkan agama (al-Qur’an dan hadith) dengan paradigma masa lalu sama halnya dengan memposisikan al-Qur’an dan hadith pada kondisi dan cara pandang masa lalu, sehingga al-Qur’an dan hadith terbelenggu dalam buaian masa lalu dan apatis dengan masa kini. Akibatnya, al-Qur’an dan hadith cenderung anti perkembangan zaman. Padahal, itu bukan bagian dari semangat agama. Sebab, “agama” pada dasarnya mempunyai banyak wajah (multiface) dan bukan lagi single face. Agama tidak lagi seperti orang dulu memahaminya, yaitu hanya semata-mata terkait dengan persoalan ketuhanan, kepercayaan, keimanan, pedoman hidup.[14]

Catatan Penutup

Al-Qur’an dan hadith telah jelas merupakan dua sumber Islam yang mengandung secara komprehensif tentang pesan-pesan dasar Tuhan. Kedua sumber ajaran Islam tersebut tidak hanya harus diperlakukan dengan cara pandang yang disorientatif, tetapi harus diposisikan sebagaimana layaknya perintah al-Qur’an, yaitu dipahami dan diamalkan sesuai dengan cita-cita al-Qur’an dan hadith.

Keduanya harus dipahami dan ditelaah secara serius dan maksimal dengan berbagai pendekatan serta berbagai aspek kajian, sehingga kebenaran yang ditawarkan oleh al-Qur’an dan hadith menjadi tampak. Hanya dengan cara menafsirkan dan mendalami pesan-pesan al-Qur’an dan hadith, maka ajaran Islam akan terus bernafas dan menjadi nafas dalam kehidupan.

Gambaran di atas memperlihatkan bahwa kandungan tentang tafsir-hadith dalam al-Qur’an memang nyata. Hal itu diperlihatkan dengan beberapa ayat yang ada dalam al-Qur’an, walaupun memang masalah tafsir hadith tidak diungkapkan dengan bahasa yang jelas, tetapi masalah tafsir-hadith diungkapkan dengan bahasa yang pada dasarnya mengarah pada signifikansi memahami al-Qur’an dan hadith.

Pemahaman terhadap al-Qur’an, telah ditegaskan dalam beberapa ayat oleh Allah, hal itu hanya bisa dilakukan dengan cara menafsirkan, kemudian yang terkait dengan masalah hadith, Allah mengungkapkan dalam bentuk keteladan seorang Muhammad serta perintah mematuhi keberadaan Muhammad sebagai utusan Allah.

Dalam konteks ini, masalah tafsir-hadith telah jelas ditegaskan dalam al-Qur’an, sehingga perlu dijadikan sebagai bagian dari proyek besar untuk mendialogkan pesan-pesan Tuhan, baik yang terekam dalam al-Qur’an maupun dalam hadith. Karena, ajaran Islam telah secara utuh terekam dalam kedua sumber ajaran Islam tersebut ( al-Qur’an dan Hadith)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin. dkk, Mencari Islam : Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan. Jogjakarta : Tiara Wacana, 2000

Fazlurrahman, Tema Pokok Al-Qur’an (Bandung, Pustaka, 1996), hlm. xi

Malik, Imam. al-Muwattha’, juz II, hlm. 899

Nurjanah, Nunung. “Tawaran Metode dalam Studi Living Sunnah”, dalam Syamsuddin, Syahiron. editor, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadith . Jogjakarta, Teras, 2007

Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an : Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep Kunci. Jakarta ; Paramadina, 2002

Shihab, Dr. M. Quraish. Membumikan al-Qur’an. Bandung, Mizan, 2006

Umar Hasyim, Dr. Ahmad. As-Sunnah an-Nabawiyah. Mesir, Maktabah Gharib, tt)

Umar, Nasaruddin “Menimbang Hermeneutika Sebagai Manhaj Tafsir” dalam Jurnal Studi al-Qur’an, vol. I, Januari 2006

Ushama, Dr. Themeem. Metodologi Tafsir Al-Qur’an : Kajian Kritis, objektif dan Komprehensif . Jakarta, Riora Cipta, 2000



[1] Nasaruddin Umar, “Menimbang Hermeneutika Sebagai Manhaj Tafsir” dalam Jurnal Studi al-Qur’an, vol. I, Januari 2006. hlm. 51

[2] Misalnya, salah satu tujuan jurusan tafsir hadit – khususnya di UIN Sunan Kalijogo Jogjakarta- adalah untuk mencetak professional kritis dalam dua bidang tersebut ( Qur’an dan hadith) serta menyelesaikan realitas sosial yang terkait dengan keduanya. Lihat. Nunung Nurjanah, “Tawaran Metode dalam Studi Living Sunnah”, dalam Syahiron Syamsuddin, editor, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadith (Jogjakarta, Teras, 2007), hlm. 131

[3] Imam Malik, al-Muwattha’I, juz II, hlm. 899

[4] Dr. Themeem Ushama, Metodologi Tafsir Al-Qur’an : Kajian Kritis, objektif dan Komprehensif (Jakarta, Riora Cipta, 2000), hlm. 1

[5] Dr. Ahmad Umar Hasyim, As-Sunnah an-Nabawiyah (Mesir, Maktabah Gharib, tt)Hlm. 26

[6] Ibid., hlm. 8

[7] Dr. M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung, Mizan, 2006), hlm. 121

[8] Shihab, Membumikan al-Qur’an, lop.cit. hlm. 121

[9] Shihab, Membumikan al-Qur’an, lop.cit. hlm. 127

[10] Ibid. hlm. 128

[11] Komentar Imam Syafi’ie ini dikutip oleh Shihab, Membumikan al-Qur’an, op.cit. hlm. 128

[12] Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an : Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci (Jakarta, Paramadina, 2002), hlm. 16

[13] Fazlurrahman, mengkritik kondisi ahli-ahli muslim, terkait dengan al-Qur’an. Menurut Rahman, ahli-ahli muslim saat ini tengah menghadapi dua buah problem : 1) mereka kurang menghayati relevansi al-Qur’an untuk masa sekarang, dan oleh karena itu mereka tidak dapat menyajikan al-Qur’an untuk memenuhi kebutuhan umat manusia masa kini ; dan lebih penting (2) mereka kuatir jika penyajian al-Qur’an yang dilakukan dalam berbagai hal menyimpang dari pendapat-pendapat yang telah diterima secara tradisional. Walaupun, menurut Rahman, penyimpangan ini tidak akan dapat dihindari, tetapi ini merupakan resiko yang harus dihadapi dengan ketulusan hati. Lihat. Fazlurrahman, Tema Pokok Al-Qur’an (Bandung, Pustaka, 1996), hlm. xi

[14] Amin Abdullah, “Relevansi Studi Agama-Agama dalam Mlilenium Ketiga”, dalam Amin Abdullah, dkk, Mencari Islam : Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan (Jogjakarta, Tiara Wacana, 2000), hlm. 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih atas komentar anda