Sabtu, 17 Januari 2009

Konsep Syuro dalam Pemikiran Muhammad Khalaf-Allah

Mohammad Suhaidi RB


Latar Belakang

Islam adalah agama rahmatan lil alamin sekaligus sebagai hudan (petunjuk) untuk umat manusia, yang selalu relevan dalam setiap perkembangan yang terjadi. Islam bukan hanya mengajarkan tentang landasan berkomunikasi dengan Allah (secara vertikal), tetapi juga memberikan rambu-rambu tentang pola komunikasi secara horizontal. Inilah makna hakiki dari asumsi bahwa Islam adalah agama universal yang memuat banyak hal tentang kehidupan, salah satunya tentang sistem politik dan kenegaraan. Tetapi, bukan berarti Islam adalah sebuah negara, Islam adalah sesuatu yang lain yang menjadi ruh dalam sistem negara tersebut. Islam menurut Fazlur Rahman menghendaki agar kaum muslimin menegakkan sebuah tata politik di atas dunia untuk menciptakan tata sosial moral yang egalitarian dan adil.[1]

Dalam konteks ini, Islam benar-benar menjadi agama yang terlengkap dalam menyiapkan segala kebutuhan umat manusia, sehingga fungsi hudan yang selalu diklaim al-Qur’an benar-benar menjadi fakta yang tidak terbantahkan. Sebab, Islam adalah agama sempurna yang mengatur setiap aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu, Islam benar-benar menjadi sistem kehidupan yang lengkap dan sempurna.[2]

Sebagai sebuah sistem kehidupan yang lengkap dan sempurna, maka Islam – menurut al-Maududi - setidaknya mengandung lima subsistem, yaitu spritual, moral, politik, ekonomi, dan sosial.[3] Dari sekian subsistem tersebut, subsistem politik memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam konteks kehidupan manusia, sebab politik bisa menjadi penentu dalam kehidupan umat manusia secara umum, sehingga masalah politik dan kenegaraan secara otomatis juga menjadi sesuatu yang include dalam ajaran Islam.

Disinilah, konsep politik kenegaraan Islam, seyogyanya dihadirkan untuk memperkokoh jati diri Islam sebagai agama yang terlengkap dalam merespon kebutuhan ”sistem” kehidupan manusia. Salah satunya tentang konsep Islam dalam merespon wacana-wacana kenegaraan kontemporer, seperti demokrasi dan yang terkait di dalamnya. Sebab, demokrasi telah dianggap sebagai sistem paling ngetren dalam sistem politik kenegaraan masyarakat kontemporer.

Dalam keterkaitan ini, makalah ini akan mengurai secara singkat tentang nilai-nilai demokrasi dalam Islam yang – ada yang menganggap – terepresentasi dalam konsep syuro (musyawarah). Dengan kata lain, dalam makalah ini, penulis akan mencoba melakukan eksplorasi ”mendalam” terhadap konsep syuro dalam pemikiran Islam. Dan, bagaimana sebenarnya konsep syuro dan posisi posisi syuro dalam sejarah politik umat Islam ? Dengan merujuk pada pemikiran tokoh Islam, terutama Muhammad Khalaf-Allah (1916-1977) salah seorang tokoh Mesir yang dapat dibilang cukup brilian dalam bidang pemikiran Islam serta tokoh-tokoh muslim yang lain.

Bigrafi Singkat

Muhammad Khalaf Allah (Mesir, 1916-1997). Gagasannya telah mashur sejak tahun 1950-an, ketika itu ia memunculkan gagasan yang cukup segar tentang kesusasteraan al-Qur’an. Khalaf Allah pernah berpendapat bahwa al-Qur’an tidak ditujukan untuk merekam fakta-fakta sejarah, tetapi untuk menyeru orang-orang kepada Islam. Akibat ungkapan ini, Khalaf Allah mendapatkan kecaman dari sejumlah imluwan muslim, karena pernyataan Khalaf cenderung menganggap al-Qur’an tidak lengkap.[4]

Namun demikian, ia tampaknya tidak menghiraukan berbagai respon positif pemikir yang lain, ia tetap saja melahirkan sejumlah karya-karya kontroversial yang menggugah berbagai kalangan. Pada tahun 1970-an, ia terus berkarya, sehingga membingungkan kalangan tradisionalis dan revivalis. Salah satu karyanya yang cukup fenomenal adalah The Qur’an and the State. Buku ini mencoba mereka konsep Islam tentang demokrasi, yang menurut Khalaf Allah, Islam bukan hanya membolehkan demokrasi, tetapi menghendaki demokrasi. Ungkapan ini tentu saja melampaui berbagai gagasan yang tampak belum tegas memberikan keputusan tentang posisi demokrasi dalam Islam.

Landasan Teologi Syuro

Dalam Islam, istilah syuro telah menjadi wacana yang sangat menarik. Hal itu terjadi karena istilah ini disebutkan dalam al-Qur’an dan hadist dengan sangat jelas sekali, sehingga syuro secara tekstual merupakan fakta wahyu yang tersurat dan bisa menjadi ajaran normatif dalam Islam. Bahkan bisa jadi, ajaran syuro menjadi sesuatu yang sangat mendasar dalam kehidupan umat manusia, yang dalam setiap detik perkembangan umat manusia, syuro senantiasa menjadi bagian yang tidak terpisahkan di tengah perkembangan kehidupan politik umat manusia.

Yang menarik, dewasa ini, istilah syuro telah dikaitkan dengan dengan beberapa teori politik modern, seperti sistem republik, demokrasi, parlemen, sistem perwakilan, senat, formatur, dan berbagai konsep yang berkaitan dengan sistem pemerintahan ” dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”.[5]

Hal itu menunjukkan bahwa syuro yang diajarkan oleh al-Qur’an bisa dianggap sebagai tawaran konsep utuh yang selalu relevan dengan setiap perkembangan konsep politik umat manusia. Bagaimanapun bentuk konsep politik yang terjadi, syuro sepertinya tetap memiliki relevensi yang tidak terbantahkan, karena syuro merupakan ajaran yang bersumber langsung dari Tuhan.

Dalam al-Qur’an, wacana syuro ini disebutkan dalam beberapa ayat, sehingga membenarkan bahwa konsep syuro memiliki makna yang sangat urgen. Antara lain Allah berfirman :

1. Qs. 3 : 159

Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Qs. 3 : 159)

2. Qs. 42 : 36-38

Artinya : Maka sesuatu yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan Hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka (Qs. 42 : 36-38)

Dua ayat tersebut diungkapkan dengan istilah yang berbeda. Ayat pertama menyebut istilah wa syawirhum (berbentuk amar : perintah), yaitu perintah melakukan musyawarah, kemudian ayat yang kedua Allah menggunakan istilah syuro (musyawarah). Perbedaan istilah tersebut hanyalah cermin tentang penggunaan kata, tetapi tetap memiliki substansi yang sama, yaitu ajaran tentang bermusyawarah dalam menyelesaikan setiap hal.

Dawam Rahardjo, mencoba menganalisa terkait dengan perbedaan antara kedua ayat tersebut dengan baik. Menurutnya, ayat pertama bersifat perintah dalam hubungannya secara vertikal, khususnya antara Nabi dengan para sahabatnya. Secara sederhana, musyawarah model ini karena ada inisitif dari atas, tetapi tetap memiliki makna saling interaksi antara yang di bawah dengan yang di atas.[6]

Sementara dalam istilah syuro, sebagaimana yang dipakai dalam ayat kedua, menurut Dawam Rahardjo, terkandung konotasi ” berasal dari suatu pihak tertentu”, tetapi tetap mengisyaratkan adanya makna ”bermusyawarah diantara mereka” atau diantara mereka perlu ada (lembaga) syuro”.[7]

Kemudian dalam sebuah hadist juga disebutkan bahwa : tidak seorangpun yang paling banyak bermusyawarah dengan para sahabatnya, melebihi Rasulullah SAW ( Hr. Abu Hurairah)

Musyawarah telah menjadi bagian dari kehidupan Rasulullah dan para sahabat, sehingga hampir tidak ada yang tidak dimusyawarahkan oleh beliau pada saat mendapatkan masalah, karena selain musyawarah merupakan perintah Allah, musyawarah juga dapat dijadikan sebagai media untuk menyelesaikan segala problem.

Ibnu Taimiyah menulis tentang makna penting bermusyawarah ini bahwa setiap waliyul amri pasti membutuhkan musyawarah, karena hal itu merupakan perintah Allah dan perintah Rasul-Nya, dengan tujuan agar bisa menarik simpati dan melunakkkan hati para sahabat belua serta bisa diteladani bagi generasi sesudahnya.[8]

Musyawarah dengan demikian, memang memiliki dasar yang normatif dalam al-Qur’an maupun sunah, tetapi penerjemahannya dalam konteks kehidupan umat Islam mengalami bentuk dan corak yang beragam. Hal itu berarti bahwa musyawarah merupakan sesuatu yang niscaya dilakukan dalam menyelesaikan setiap persoalan kehidupan umat manusia, karena syuro memiliki makna yang sangat besar, terutama dalam masalah-masalah politik dan kenegaraan.

Syuro pada Masa Nabi

Dalam konteks ini, syuro akan diletakkan dalam konteks politik kenegaraan sebagaimana menjadi wacana sampai saat ini. Dalam al-Qur’an, masalah syuro memang tidak dijelaskan sampai detail, apalagi menyangkut bentuk dan model syuro itu sendiri. Al-Qur’an hanya meletakkan konsep syuro sebagai prinsip umum yang mengajarka tentang peran dan fungsi syuro dalam menyelesaikan masalah umat manusia, dan masalah pola dan model syuro tersebut tampaknya menjadi tugas umat Islam untuk diterjemahkan.

Islam datang dengan membawa nilai-nilai dan tujuan yang jelas dan rasional, sehingga Islam secara otomatis tidak mengingkari adanya sistem kenegaraan yang bisa dijadikan sebagai media untuk mentransformasi dan menegakkan nilai-nilai ajaran Islam guna memenuhi kebutuhan masyarakat secara umum, termasuk juga dalam masalah politik dan kenegaraan.

Disinilah konsep syuro akan menjadi sesuatu yang sangat urgen, sehingga posisinya sangat menentukan. Perintah Allah kepada Rasulullah untuk menerapkan syuro dalam kehidupan merupakan bukti normatif bahwa syuro pada dasarnya menjadi power dalam kehidupan sosial umat manusia. Dan, selama Rasulullah masih hidup, beliau mampu menerjemahkan syuro ini dengan baik, bahkan bentuk dan modelnya juga telah dilakukan oleh Rasulullah.

Muhammad Khalaf-Allah, memberikan analisa yang sangat kreatif terhadap masalah syuro ini. Ia tampaknya ingin menegaskan bahwa al-Qur’an bukan hanya menyediakan konsep tanpa bentuk, tetapi syuro yang dipraktekkan oleh Rasulullah telah menemukan formatnya yang ideal, bahkan yang terjadi saat ini merupakan kenyataan yang sudah terjadi pada mas Rasulullah. Artinya, syuro pada masa Nabi telah terbentuk menjadi lembaga-lembaga yang akomodatif.

Menurut Mohammad Khalaf-Allah, pada saat Nabi masih di Mekaah, memang beliau belum membentuk lembaga syuro secara terbukan, karena pada saat itu beliau masih sembunyi-sembunyi dalam menyiarkan ajaran Islam, sehingga menyebabkan mereka tidak bisa membangun institusi dengan otoritas dan kewenangan legislatif, selain otoritas Tuhan.[9]

Namun demikian menurut Muhammad Khalaf-Allah, setelah beliau berada di Madinah, beliau dan seluruh kaum muslim menjadi kekuatan baru dan berusaha membangun tatanan kehidupan yang baru sesuai dengan wahyu. Disinilah lembaga legislasi oleh Nabi dibangun sebagai respon terhadap ayat al-Qur’an tersebut.[10]

Pilihan menegakkan idealisme syuro di Madinah tentu karena pertimbangan rasional Umat Islam yang tampak sudah mulai kuat dibandingkan di Mekkah, sehingga sangat kondusif untuk mewujudkan impian tersebut. Ketika sampai di Madinah yang ada dalam pikiran Nabi adalah menciptakan satu tatanan kehidupan masyarakat dalam satu kekuasaan, dengan tujuan agar masyarakat Madinah memiliki kekuatan sosial dan bisa bermanfaat bagi perkembangan Islam. Maka yang dilakukan oleh Rasulullah, pertama adalah menjajaki komposisi demografis agama dan sosial penduduka Madinah. Kedua, Nabi melakukan sesnsus penduduk. Menurut data terakhir ditemukan 10 ribu penduduk : 1.500 kaum muslimin, 4.000 kaum Yahudi, dan 4.500 kaum musyrikin.[11]

Pada masa Nabi, setidaknya ada dua kekuasaan legislatif : otoritas Tuhan, dan otoritas Rasulullah dan ulil amr. Bidang otoritas Tuhan tersebut ialah ide-ide yang menyiapkan sebuah citra tentang ketuhanan dan menjelaskan masalah kepercayaan serta darimana alasan kebolehan dan larangan keagamaan berasal. Kemudian tentang otoritas manusia, dimiliki oleh Rasulullah dan mereka yang memilki wewenang, hal itu terkait dengan masalah-masalah keduniaan, misalnya yang berkaitan dengan masalah perang, perdamaian, rasa takut, keamanan, dan masalah-masalah yang lain.[12]

Syuro pada masa Rasulullah telah menjadi bahasa lain legislatif, seperti yang dungkapkan oleh Mohammad Khalaf-allah di atas, sehingga tidak salah apabila dikatakan bahwa Rasulullah telah membuktikan komitmen syuro dalam bentuk yang nyata, karena dalam praktiknya setiap ada masalah Rasulullah selalu menjadikan syuro sebagai media mencari solusinya.

Syuro : Model dan Tujuan

Bagaimana mekanisme, tempat serta tujuan syuro ini sebenarnya, pada masa Rasulullah. Menurut Muhamad Khalaf-Allah, Rasulullah membentuk kekuaaan legislatif ini dengan tujuan untuk melihat dan memutuskan berbagai masalah kemasyarakatan. Menurut muhammad Khalaf-Allah, tidak ada tempat khusus bagi keberadaan lembaga ini ; anggota-anggotanya bertemu dengan Rasulullah di tempat yang mereka sepakati sesuai dengan situasi dan kondisi untuk membahasa masalah tertentu, biasanya tempat yang sering digunakan adalah masjid dan rumah Rasulullah.[13]

Legislatif tersebut hanya bersifat sederhana, karena kondisinya yang memungkin beliau dan sahabatnya menerjemahkan musyawarah dengan cara demikian, apalagi kau muslim yang masih minim, sehingga sistem musyawarah yang digunakan juga sangat terbatas. Akan tetapi, setelah Islam meluas akibat keberhasilan gerakan penaklukan dimana wilayah Islam sudah meluas, maka tentu saja dibutuhkan sistm musyawarah yang akan menjamin partipsipasi masyarakat yng jauh, sehingga mereka akan terwakili.[14]

Namun demikian, hal itu tidak dibentuk oleh Rasulullah, karena beberapa alasan. Pertama, masalah (musyawarah) berubah seiring dengan perubahan-perubahan waktu dan tempat dalam situasi sosial masyarakat. Periode dimana Rasulullah hidup pasca penaklukan Mekkah terlalu singkat untuk memberikan kemungkinan pembentukan sistem syuro.

Selain itu, pembentukan aturan syuro pada waktu itu tidak dilakukan oleh Rasulullah, karena mungkin beliau beranggapan bahwa aturan yang dibentuk belum tentu cocok dalam semua zaman, sehingga sangat bijaksana beliau menyerahkan masalah aturan syuro ini kepada masyarakat sesuai dengan kebutuhan zamannya serta sesuai dengan kepentingan mereka.

Kedua, apabila Rasulullah membentuk aturan musyawarah yang bersifat sementara – berdasarkan kebutuhan saat itu – kaum muslim akan mengadopsinya sebagai sebuah ordonansi keagamaan dan mengikutinya dalam setiap waktu dan tempat, walaupun hal itu bukan termasuk masalah agama.

Ketiga, apabila Rasulullah membentuk sistem ini berdasarkan keinginannya sendiri, ia akan melaksanakan musyawarah yang diperintahkan Tuhan kepadanya. Akan mustahil baginya melakukan hal itu, karena dia tidak akan pernah menolak apapun yang diperintahkan Tuhan. Apabila Rasulullah menerapkan sistem ini dalam musyawarah dengan para sahabat dan kuam Muhajirin, ia akan memutuskan suatu masalah dengan menurut pendapat mayoritas, misalnya pada saat perang Uhud. Pendapat mayoritas pada saat perang Uhud, ternyata berbeda dengan pendapat beliau sendiri, tetapi beliau sepakat dengan pendapat mayoritas, yang kemudian terbukti keliru. Di samping itu, Rasulullah tidak menginginkan legislasi ditetapkan oleh mereka.[15]

Dengan demikian, perintah syuro (melaksanakan musywarah) dalam segala urusan) yang disampaikan oleh al-Qur’an merupakan prinsip umum, bukan bentuk nyata, sehingga dengan syuro bisa melahirkan berbagai sistem yang bisa dilakukan untuk memutuskan persoalan, misalnya syuro bisa melahirkan sistem dalam melakukan suksesi kepemimpinan.[16] Bentuk dan corak sistem tersebut menjadi tugas umat Islam untuk dibentuk, tergantung situasi dan kondisi yang ada.

Keanggotaan Syuro

Masalah siapa saja yang menjadi anggota legislatif pada masa Rasulullah, menurut Muhammad Khalaf-Allah, adalah orang-orang yang berada di sekitar Rasulullah. Jadi, orang-orang yang dekat dan bergaul dengan Rasulullah, menjadi bagian dalam badan legislatif pada saat itu. Muhammad Khalaf-Allah mengutip sebuah ayat :

Artinya : Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil Amri). Kalau tidaklah Karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu) (Qs. 4 : 83)

Menurutnya, ”mereka yang memiliki otoritas” dalam ayat tersebut adalah orang-orang yang berada di sekitar Rasulullah. Badan legislatif ini memiliki hak untuk meninjau masalah-masalah dan menarik kesimpulan hukum dalam kasus tersebut.[17]

Pada masa Rasulullah orang-orang berwenang ini, bisa terdiri dari orang-orang yang berpengetahuan dan berkedudukan, baik dari kalangan Anshor, Muhajirin maupun sahabat yang lain. Rasulullah bermusyawarah dengan mereka.[18]

Gambaran Muhammad Khalaf-Allah di atas menunjukkan tentang penerjemahan syuro pada masa Rasulullah yang telah kongkret, dan dari analisa Muhammad Khalaf, tampaknya mengisyaratkan bahwa syuro pada masa Nabi tidak jauh beda dengan model syuro yang ada saat ini. Artinya, model legislatif yang menjadi bentuk ideal format syuro saat ini, pada dasarnya telah terbentuk pada masa Nabi, walaupun sistem syuro sendiri tidak ditegaskan oleh Nabi, bukan karena faktor kelemahan Nabi saat itu, tetapi karena sistem tersebut memang tidak memungkinan dibentuk oleh Nabi, sehingga memberikan peluang besar kepada generasi setelah beliau.

Model syuro kemudian dilanjutkan oleh para pengganti Nabi. Suksesi kepemimpinan di tubuh umat Islam pasca Nabi, dilakukan dengan mengandalkan model syuro, baik pada masa Abu Bakar,Umar, Ustman dan Ali. Keempat khalifah tersebut terpilih melalui proses syuro yang cukup demokratis, karena berpijak pada kesepakatan bersama para wakil umat Islam ketika itu. Itulah model majelis syuro yang terjadi pada masa sahabat, yang menjadi penentu dalam setiap suksesi yang dilakukan.

Bahkan, penunjukan Abu Bakar kepada Umar sebagai penggantinya, bukanlah tanpa proses syuro. Sebelum Abu Bakar menunjuk Umar, Abu Bakar terlebih dahulu bermusyawarah dengan tokoh-tokoh terkemuka serta harus dibai’at oleh umat Islam. [19] Kepemimpinan pasca Nabi memang dimulai dengan polemik, bahkan jenazah Nabi sampai tiga hari lamanya tidak dikuburkan, karena di kalangan sahabat masih kesulitan menentukan pengganti Nabi. Di kalangan mereka masih terjadi tarik ulur siapa yang berhak mengganti Nabi, karena Nabi sendiri tidak pernah menunjuk seseorang yang bisa menjadi pengganti beliau, sehingga para sahabat dan umat Islam perlu melakukan musyawarah, untuk memutuskan pengganti Rasulullah yang ideal.[20]

Musyawarah yang dilakukan beberapa kelompok saat itu, belum bisa memberikan keputusan yang cepat siapakah pengganti Rasulullah. Paling sedikit ada tiga calon yang diajukan, baik dari kalangan Muhajirin, yaitu Abu Bakar, dari kalangan Anshar, yaitu Abu Ubaidah ibnu Zarrah, dan Bani Hasyim, yang tidak jelas tetapi lebih mengarah pada Ali bin Ab Thalib. Bahkan Saa’ bin Ubadah juga dari Anshar merasa berhak menjadi pemimpin, dan ia menjadi oposisi bagi Abu Bakar.[21]

Namun musyawarah yang alot tersebut, akhirnya mencair ketika Umar mengusulkan Abu Bakar, tanpa mengedepanpan politik golongan. Bahkan pidato dukungan Umar terhadap Abu Bakar, bisa dianggap sebagai bentuk awal adanya kampanye dalam pemilihan kepemimpinan.[22]

Oleh karena itu, model parlemen yang ada saat ini, pada hakikatnya merupakan pengembangan dari model syuro yang telah berkembang pada masa Rasulullah, sementara sistem yang digunakan pada saat ini merupakan bagian dari sesuatu yang mewakili nafas zaman saat ini.Semuanya tetap berada dalam prinsip syuro dalam Islam, tidak jauh beda dengan demokrasi yang menjadi pijakan pembentukan badan legislatif saat ini. Seperti yang ditegaskan oleh Sadek Jawad Sulaiman bahwa baik syuro maupun demokrasi muncul dari anggapan bahwa pertimbangan kolektif (collective deliberation) lebih mungkin melahirkan hasil yang adil dan masuk akal bagi kebaikan bersama daripada pilihan individual.[23] Keputusan-keputusan mufakat akan lebih bisa dilakukan dengan cara musyawarah, sehingga bisa menafikan keputusan-keputusan subyektif individu, karena keputusan bersama lebih memiliki bobot yang lebih obyektif.[24]

Gambaran di atas tentu saja melahirkan sesuatu yang sangat bermakna dalam memposisikan syuro dalam kehidupan ini. Apa yang diungkapkan oleh Muhammad Khalaf-Allah merupakan ekspresi syuro yang akarnya telah secara kongkrit dilakukan pada masa Nabi.

Dengan demikian, syuro telah menjadi sebuah lembaga, yang kemudian menghasilkan model lembaga-lembaga syuro, seperti yang ada saat ini. Syuro adalah prinsip universal yang menjadi dasar terlaksananya proses kehidupan sosial masyarakat yang baik, terutama dalam konteks politik. Mungkin ini yang melandasi ungkapan Mahmud Muhammad Thaha, bahwa ia (syuro) bukan demokrasi, tetatpi merupakan tatanan individu-individu yang matang, yang menyiapkan umat untuk menjadi demokratis.[25]

Penutup

Syuro adalah perintah tegas dalam al-Qur’an yang mengandung makna sangat mendasar. Sebab, syuro bisa menjadi media untuk menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan, terutama dalam masalah kepemimpinan dan politik. Masa Rasululah adalah masa-masa dimana embrionisasi syuro mulai diproses secara kongkret dan Rasulullah serta para sahabat telah mencoba menampilakn wajah syuro, terutama dalam konteks politik dengan cemerlang untuk ukuran masa mereka.

Pada masa Rasulullah syuro memang belum bisa dikatagorikan telah menjadi lembaga formal, tetapi apa yang dilakukan oleh Rasulullah telah menjadi bagian signifikan dalam pembentukan lembaga syuro pada hari kemudian. Rasulullah dan para sahabat telah meletakkan pondasi sangat penting dalam proses pembentukan lembaga syuro, bahkan pada masa sahabat, terutama dalam masalah politik kepemimpinan, syuro telah semakin direvitalisasi menemukan bentuknya yang paling ideal guna memutuskan kepeminpinan Islam pada waktu itu.

Namun demikian, praktik syuro yang terbentuk pada masa Rasulullah belun mengarah pada pembakuan aturan dan sistem resmi syuro, karena masalah tersebut tidak memungkinkan dilakukan, dan Rasulullah memang sengaja tidak melakukan hal itu, karena masalah sistem syuro merupakan sesuatu yang bergantung pada kebutuhan dan kondisi sosial umat Islam, sehingga masalah sistem ”telah dipasrahkan” pada kebutuhan umat Islam, dengan tetap menjadikan syuro sebagai prinsip ideal dalam kehidupan umat Islam.

Akhirnya, Islam memang telah menghadirkan sesuatu yang jelas untuk menuntun umat manusia. Bahkan Islam di tengah eufiria demokrasi, Islam telah memberikan landasan yang menopang demokrasi itu sendiri, salah satunya adalah demokratis dalam menentukan kepemimpinan. Oleh karena itu, maka sistem politik harus dilandaskan pada prinsip syuro. Hal ini berarti bahwa pemimpin politik hanyalah abdi rakyat dan harus dipilih oleh rakyat dalam pemilihan yang bebas.[26]

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, Dr. Akbar S. Citra Muslim Tinjuan Sejarah dan Sosiologi. Jakarta : Erlangga, 1992

Drs. Muhibbin, MA, Hadist-Hadist Politik. Jogjakarat : Pustaka Pelajar, 1996

Kurzman, Charles. [editor], Wacana Islam Liberal : Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu Global. Jakarta : Paramadina, 2003

Muhammad Thaha, Mahmud. Arus Balik Syari’ah. Jogjakarta : LKiS, 2003

Qadir Djailani, Abdul .Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam. Surabaya : Bina Ilmu, 1995

Rahardjo, Dawan. Ensiklopedi al-Qur’an : Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci . Jakarta : Paramadina, 2002

Rahman, Fazlur. Tema Pokok al-Qur’an. Bandung : Penerbit Pustaka, 1996

Rodli Makmun, M.Ag, Drs. H. Achmad. Sunni dan Kekuasaan Politik. Ponorogo : STAIN Ponorogo Press, 2006

Shihab, M. Quraish.”Membumikan”Al-Qur’an : Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung : Mizan, 2006

Taimiyah, Ibnu . As-Siyasah As-Syar’yah (Mesir : Darul Kutub al-Arabi, tt), hlm. 169

Utriza NWAY, Ayang. “Demokrasi dalam Konteks Madinah” dalam Jurnal Taswirul Afkar, edisi. No.16 Tahun 2004



[1] Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur’an (Bandung : Penerbit Pustaka, 1996), hlm. 92

[2] Abdul Qadir Djailani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam (Surabaya : Bina Ilmu, 1995), hlm. 1x

[3] Ibid. hlm. x

[4] Charles Kurzman [editor], Wacana Islam Liberal : Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu Global (Jakarta : Paramadina, 2003), hlm. 18

[5] Dawan Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an : Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci (Jakarta : Paramadina, 2002), hlm. 440

[6] Ibid. hlm. 443

[7] Ibid. 443

[8] Ibnu Taimiyah, As-Siyasah As-Syar’yah (Mesir : Darul Kutub al-Arabi, tt), hlm. 169

[9] Mohammad Khalaf-Allah, ”Kekuasaan Legislatif” dalam Charles Kurzman, editor, Wacana Islam Liberal : Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global (Jakarta : Paramadina, 2003), hlm. 20

[10] Ibid. hlm. 20

[11] Ayang Utriza NWAY, “Demokrasi dalam Konteks Madinah” dalam Jurnal Taswirul Afkar, edisi. No.16 Tahun 2004

[12] Mohammad Khalaf-Allah, hlm. 21

[13] Ibid. hlm. 23

[14] Ibid. hlm. 25

[15] Ibid. 26-27

[16] Drs. H. Achmad Rodli Makmun, M.Ag, Sunni dan Kekuasaan Politik (Ponorogo : STAIN Ponorogo Press, 2006), hlm. 68-69

[17] Ibid. hlm. 28

[18] Ibid. hlm. 28

[19] Drs. Muhibbin, MA, Hadist-Hadist Politik (Jogjakarat : Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 30

[20] Dr. Akbar S. Ahmed, Citra Muslim Tinjuan Sejarah dan Sosiologi (Jakarta : Erlangga, 1992), hlm. 36

[21] Dawam Rahardjo, Ensiklopedi...hlm. 455

[22] Dawam Rahardjo, Ensiklopedi....hlm. 456

[23] Sadek Jawad Sulaiman, “Demokrasi dan Syuro” dalam Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal, hlm. 128

[24] Tujuan inilah yang menjadi salah satu dasar perintah musyawarah dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, menurut Quraisy Shihab menulis bahwa segala persoalan kemasyarakatan kaum muslim diputuskan dengan cara musyawarah untuk menghasilkan kata mufakat. Lihat M. Quraish Shihab, ”Membumikan”Al-Qur’an : Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung : Mizan, 2006), hlm. 305

[25] Mahmud Muhammad Thaha, Arus Balik Syari’ah (Jogjakarta : LKiS, 2003), hlm. 200.

[26] Ayang Utriza NWAY, Demokrasi,hlm. 108

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih atas komentar anda