Jumat, 30 Januari 2009

MEMPERTEGAS AGENDA REFORMASI PASCA REFORMASI (Re-Aktualisasi Amanat Reformasi dalam Melawan Kejahatan Korupsi)

Pendahuluan

Reformasi yang terjadi di Indonesia pada 1998, merupakan fakta utuh tentang adanya perubahan tata kehidupan sosial di Indonesia, setelah selama 32 tahun lamanya berada dalam hegemoni pemerintahan yang sama sekali sangat tidak mencermin sebagai bangsa yang demokratis, seperti bangsa-bangsa yang lain. Kekuasaan otoriter yang dikembangkan oleh Orde Baru, telah mampu membangun tradisi kekuasaan yang tidak berpihak terhadap rakyat, antara lain kekuasaan dilaksanakan dengan cara yang sentralistik, koruptif dan intimidatif. Orde Baru telah tampil sebagai penguasa yang membangun kedigdayaannya dengan mental “Bouldoser”. Akibatnya, bangsa ini bagaikan hidup dari satu mulut singa (kolonialisasi Penjajah) ke mulut singa yang lain (kolonialisasi ala Orde Baru).

Reformasi yang pada gilirannya dijadikan sebagai amunisi untuk menggulingkan kekuasaan Orde Baru,[1] telah memberikan hasil yang sangat memuaskan. Lengsernya Seoharto (almarhum) sebagai penguasa tunggal Orde Baru pada waktu itu, dianggap sebagai simbol hancurnya bangunan rezim yang dibangun oleh Orde Baru dengan segala praktik keji dan jahatnya, satu-satunya kebijakan yang sangat populer Orde Baru adalah tidak adanya kebebasan bagi rakyat, karena kebebasan dianggap sebagai pintu awal untuk melemahkan Orde Baru. Kemudian, tradisi korupsi yang dianggap ”halal” untuk diamalkan oleh Rezim Orde Baru.

Namun demikian, reformasi yang telah berumur 10 tahun, belum menunjukkan adanya perbaikan yang signifikan. Reformasi yang diperjuangkan dengan kekuataan penuh (people power) ada banyak yang menilai belum menghasilkan sesuatu yang bisa memperbaiki kehidupan bangsa ini. Tujuan awal reformasi untuk membangun kehidupan bangsa ini menjadi bangsa yang baldatun thayyibatun wa robbun ghafur, yang berpijak pada keadilan dan kesejahteraan belum terbukti secara kaffah, akibatnya reformasi hanya terkesan sebagai simbol pelengseran Soeharto dari kekuasaannya, tetapi karakter dan perilaku tidak bermartabat Orde Baru, seperti korupsi tetap menjadi bagian integral dalam kehidupan reformasi, bahkan lebih jahat ketimbang pada masa Orde Baru. Reformasi yang telah digerakkan pada tahun 1998, dengan demikian masih sebatas mimpi, belum menjadi aksi yang secara total terbumikan dalam kehidupan bangsa Indonesia sampai saat ini.

Gelombang reformasi yang telah bergulir tahun 1998 ternyata belum mampu menciptakan kesejahteraan umum masyarakat.[2] Berbagai kasus korupsi, dan berbagai penyelewengan serta perilaku jahat sosial bangsa ini, secara istiqamah masih menjadi aib yang sangat memprihatinkan. Reformasi yang memiliki nilai-nilai aslah untuk merubah kehidupan bangsa yang tidak baik ke arah yang sangat baik, seperti yang diharapkan para pejuang reformasi masih jauh panggang dari api. Pasca Reformasi tahun 1998, bangsa ini tengah menghadapi problem besar, yaitu kejahatan korupsi yang masih terus menjadi ”Dajjal” dalam kehidupan birokrasi dan masyarakat kita. Tidak salah kalau Bung Hatta sudah sejak dulu mengungkapkan bahwa korupsi sudah membudaya di Indonesia. Bahkan keberadaan budaya korupsi dalam masyarakat Indonesia diterima sebagai sebuah keniscayaan.[3]

Nah, dalam konteks HUT Reformasi 2008 ini, tulisan ini akan penulis fokuskan pada masalah perlawanan terhadap korupsi, karena dalam hemat penulis agenda yang belum tersentuh semangat reformasi sampai kini adalah menghilangkan tradisi korupsi dalam kehidupan bangsa ini. Reformasi paradigma corrupt, menjadi proyek utama yang senantiasa membutuhkan perjuangan total pasca reformasi, sekaligus untuk membumikan semangat reformasi secara utuh, yaitu melawan hegemoni korupsi secara total. Reformasi akan tetap berjalan di tempat, selama persoalan korupsi tidak dituntaskan dengan maksimal, karena reformasi tidak akan pernah bisa melahirkan kesejahteraan, apabila korupsi tidak dijadikan sebagai musuh yang akan menghancurkan masa depan reformasi di Indonesia.

Tradisi Korup yang Merata

Korupsi, kolusi dan nepotisme dalam kehidupan bangsa kita telah menjadi bagian integral yang sulit untuk dipisahkan, sehingga sangat sulit untuk dibasmi. Perlawanan terhadap korupsi yang digeliatkan oleh sejumlah kalangan, sama sekali belum menghasilkan sesuatu yang sangat signifikan. Korupsi masih menjadi hantu yang selalu bergentayangan di tengah-tengah kehidupan bangsa ini. Predikat bangsa penuh korup, tampaknya masih sangat absah untuk diberikan atas bangsa ini. Artinya, persoalan korupsi telah menjadi masalah umum yang merata dalam semua tingkatan, baik dalam konteks nasional, propinsi, kabupaten/kota, kecamatan hingga tingkat kampung atau desa. Yang sangat aneh, pelakunya bukan hanya pejabat pemerintah, tetapi juga sudah melibatkan anggota DPR, DPRD, Badan Perwakilan Desa (BPD), dan tentu saja pengusaha besar hingga pengusaha kecil.[4] Bahkan para penegak hukum pun, tidak bisa lepas dari jeratan perilaku korup (suap, kongkalikong dan lain sebagainya). Akibatnya, memberantas korupsi dengan kenyataan semacam ini tentunya tidak akan semudah membalikkan telapak tangan.

Menurut Arbi Sanit, korupsi bukan saja merupakan gejala kehidupan individu (pribadi), masyarakat (kelompok dan golongan), atau negara (sistem politik dan pemerintahan). Lebih dari itu, tindakan tercela itu sudah menjadi salah satu masalah utama dan mendesak.[5] Tidak heran kalau bangsa ini, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Transparansi Internasional pada 2001 diposisikan pada peringkat keempat sebagai negara terkorup di dunia. Yang lebih parah lagi, hasil survei yang dilakukan oleh PERC ; sebuah lembaga ekonomi di Singapura pada tahun yang sama menempatkan Indonesia di urutan yang lebih memalukan, yaitu pada peringkat kedua negara terkorup se-dunia.[6]

Bahkan lebih konkret lagi hasil survei TI (Transparanscy International) dari 90 negara yang disurvei untuk periode tahun 2000, Indonesia menempati urutan kelima sebagai negara yang paling korup di dunia. Sementara hasil pemeriksaan I BPK menyatakan, dari sekitar Rp. 238 triliyun realisasi anggaran sektor publik yang diperiksa, salah urus pengelolaan keuangan negara untuk periode 1999/2000 berjumlah sebesar Rp. 165 triliyun atau sekitar 70 persen.[7]

Itulah kenyataan yang terjadi pada negara Indonesia ; negara yang dulu pernah diberi julukan menyejukkan sebagai bangsa yang gemah ripah loh jinawi tata titih tentrem kertarahardjo, tetapi hari ini predikat itu tidak ubahnya hanya menjadi jargon basi yang kehilangan makna. Indonesia tidak lagi layak menahbiskan dirinya sebagai negara yang bersih dan penuh dengan semangat kejujuran, karena nilai-nilai kejujuran dan tatakrama hidup bersih dan seimbang telah runtuh akibat kebejatan praktik a moral korupsi yang sangat kronis.

Kesimpulan-kesimpulan dari hasil penelitian tentang praktek korupsi di Indonesia tersebut merupakan indikasi awal tentang masih kuatnya aktivitas tidak bermartabat korupsi yang harus diterima dengan rasa malu, karena kesimpulan sebagai bangsa korup akan memposisikan bangsa ini pada posisi bangsa yang kehilangan jati diri dan tidak memiliki martabat di mata negara-negara yang lain.

Selain itu, akibat budaya korup yang luar biasa telah menyebabkan bangsa ini terjatuh ke dalam kubangan krisis yang menakutkan. Runtuhnya perekonomian Indonesia lima tahun lalu hingga kini, lebih dari 63 juta orang tetap hidup di bawah garis kemiskinan (sekitar Rp. 8.500,00 per orang per hari), pengangguran terbuka dan terselubung membubung drastis ke angka 42 juta orang, menyusul berbagai divestasi dan dari larinya investasi di sektor manufaktur ke luar negeri [8] merupakan bagian dari efek besar dari kebejatan perilaku korup yang dibangun selama puluhan tahun.

Angka – meminjam kalimat panjang Abd. A’la – memang tidak mampu menguak segala fakta, namun angka dapat menjadi petunjuk untuk membeber kenyataan yang sebenarnya. Kita jangan terpaku dengan angka, tapi dari angka itu kita mengungkap fakta.[9] Oleh karena itu, terlepas dari angka-angka dan kebenaran hasil penelitian yang dilakukan oleh sejumlah lembaga tentang posisi Indonesia sebagai negara terkorup, tidak bisa dipungkiri bahwa negara kita memang tengah berada dalam kungkungan kebejatan praktik-praktik korupsi yang luar biasa. Korupsi yang terjadi di sejumlah lembaga pemerintahan menjadi alasan bahwa korupsi telah betul-betul membumi dalam kehidupan bangsa yang masih tetap berada dalam posisi transisi demokrasi ini.

Dengan demikian, urusan korupsi mengkorupsi telah menjadi isu bersama yang hidup dimana-dimana. Jangankan di tempat-tempat yang tidak pernah mengenal siapa Tuhan, neraka dan surga, di tempat yang selama ini dianggap sakral sekalipun seperti DEPAG misalnya (ini hanya contoh kecil), isu korupsi juga tidak ketinggalan. Korupsi (koruptor) telah benar-benar menjalar ke mana-mana dan ada dimana-mana ; tidak lagi mengenal apakah itu tempat suci, sakral, milik umat, bangsa dan negara, bahkan DIKNAS yang notabene sebagai lembaga pendidikan, juga tidak jauh dari indikasi akan adanya korupsi.[10]

Jadi lengkap sudah, semua tempat hampir tidak ada lagi yang bersih dari serbuan koruptor ; manusia berhati tikus yang memiliki hati, tapi tidak merasa, punya mata, tapi tidak melihat, punya telinga, tapi tidak mendengar dan bahkan punya akal, tapi tidak berfungsi. Bangsa kita tengah dihuni oleh golongan tanpa perasaan yang selalu hadir untuk mementingkan perut dan kesenangan dirinya. Merekalah makhluk yang antara akal dan hati nuraninya telah benar-benar putus, sehingga tidak bisa membedakan mana hak publik dan mana hak pribadi.

Kenyataan ini secara faktual telah menjadi parameter signifikan tentang hancurnya tatanan moral bangsa dan bukti bahwa bangsa Indonesia masih belum mampu menjadi bangsa yang bersih dan jujur,[11] dan menjadi agenda utama pasca reformasi digulirkan. Kebejatan praktik korupsi dimana-mana telah semakin meneguhkan tentang suramnya masa depan bangsa ini menjadi bangsa yang makmur dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran. Kita tengah hidup dalam tanda tanya besar, akankah bangsa ini terbebas dari jebakan kejahatan korupsi yang tengah menjadi pilihan orang-orang dalam bangsa ini, tanpa rasa malu dan rasa takut?

Namun demikian, bukan berarti tulisan ini mau melihat dengan sebelah mata terhadap upaya-upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintahan yang ada saat ini. Selain pemberantasan korupsi memang telah menjadi bagian dari visi besar SBY, yang secara perlahan mulai diterjemahkan melalui beberapa langkah, antara lain dengan telah terbitkannya produk-produk hukum untuk memberantas praktik korupsi, yang diawali TAP MPR No XI/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme, lalu muncul UU no. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setelah itu diganti dengan UU No. 20/2001 tentang perubahan UU No. 31/1999, yang kemudian melahirkan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tapi lembaga itu kemudian bubar karena Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur dianggap tidak sah, yang kemudian melahirkan aturan baru, yaitu UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi[12], dan pada gilirannya memunculkan Komisi Pemberantasan Korupsi.[13]

Walaupun demikian, jujur saja, dari upaya-upaya yang dilakukan, ternyata masih jauh panggang dari api. Harapan besar bagaimana pelaku-pelaku korupsi kelas kakap diadili masih belum menjadi kenyataan. Harapan masih tinggal harapan. Jargon pemberantasan korupsi yang menjadi salah satu agenda besar SBY belum memberikan bukti yang sangat konkret, bahkan indikasi praktek korupsi di sejumlah daerah dan lembaga-lembaga pemerintahan semakin hari tampak semakin menjamur dan menggejala. Masih belum ada koruptor yang telah berhasil membobol uang negara dengan jumlah yang sangat besar berhasill di meja hijaukan sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. Masih belum ada bukti konkret ada koruptor yang telah merugikan negara dengan jumlah yang sangat besar diadili dan diberi hukuman. Semuanya masih tetap mengambang dan gamang.

Sementara di sisi yang lain, bangsa kita semakin hari juga semakin tidak menentu dan tertatih-tatih. Kemakmuran dan ketenteraman tampak semakin tidak memiliki arah yang jelas. Rakyat tetap saja menjerit dalam kemelaratan dan kebimbangan hidup yang tidak pasti. Kebijakan pemerintah belum mampu memberikan sesuatu yang berarti untuk mengangkat nasib masyarakat yang tengah merana, karena kehidupan yang layak dan keadilan hukum yang sangat substansial masih belum menjadi agenda konkret pemerintah. Semuanya masih mengambang dan berada dalam tanda tanya yang tidak pernah memberikan kepastian jawaban. Upaya pemberantasan korupsi dengan demikian, masih sebatas upaya untuk tidak mengatakan sekedar wacana yang belum mampu memberikan hasil.

Korupsi : Hancurkan Masa Depan Bangsa

Geliat memberatas korupsi yang belakangan ini marak merupakan indikasi kuat tentang bahaya korupsi terhadap masa depan bangsa. Asumsi bahwa korupsi sebagai bagian dari mata rantai krisis sosial, ekonomi dan krisis politik di Indonesia merupakan sesuatu yang berasalasan. Kuatnya tradisi korupsi pada hakikanya menjadi pintu awal hancurnya bangsa ini secara perlahan-lahan. Rakyat dan bangsa ini jelas menjadi korban dari bahaya besar korupsi yag terjadi, misalnya megasakandal “korupsi’ yang terjadi di BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) dari total dana yang dikucurkan sedikitnya 320 triliyun, terdiri dari Rp. 144.5 triliyun yang diterima 48 Bank umum swasta nasional dan Rp. 175 triliyun yang diterima BUMN. Akibat dari skandal di BLBI ini rakyat yang harus menanggung beban deritanya, karena dari kewajiban untuk melunasi obligasi BLBI sebesar Rp. 144,5 triliyun, nilai aset yang diserahkan pemegang saham mayoritas bank penerima BLBI hanya sekitar Rp. 12 triliyun atau 8,5 persen.[14]

Sebagai tindak pidana kejahatan, korupsi memiliki dampak yang sangat luas terhadap bangunan bangsa. Bahkan korupsi juga disebut sebagai kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime), karena yang dirugikan bukan hanya secara individu, tetapi masyarakat secara umum. Sehingga tidak salah kalau korupsi dipersepsikan sebagai penyebab kehancuran masyarakat, kelompok, bangsa dan negara. Dalam pemetaan Ikhwan Fahrojih, perilaku korupsi akan berdampak terhadap beberapa aspek :[15]

Pertama, secara politik. Secara sederhana bagian dari makna politik adalah kekuasaan terutama dalam hal pengambilan kebijakan baik yang berbentuk hukum maupun tidak yang pada gilirannya akan sangat berdampak terhadap masyarakat. Dan korupsi jelas akan sangat berpengaruh sekali terhadap produk hukum dan kebijakan yang dihasilkan. Maka proses pembuatan kebijakan yang penuh dengan korupsi sangat jelas akan menghasilkan produk hukum yang memihak terhadap status quo dan kepentingan segelintir elit penguasa. Keadilan hanya akan menjadi jargon basi yang tidak pernah akan terbukti.

Kedua, aspek ekonomi. Dari sisi ekonomi, dampak korupsi akan menyebabkan tidak akan terjadi distribusi yang jelas terhadap sumber daya publik secara merata dan adil, sumber daya publik justeru akan berada dalam penguasaan segelintir orang dan akan mengorbankan sebagian besar orang. Penguasaan terhadap sumber daya publik akan melahirkan perselingkungan terselubung antara pemegang sumber daya ekonomi (pengusaha) dengan penguasa yang akan berakhir pada munculnya ketimpangan kebijakan. Sayed Hussen Alatas mengemukakan bahwa hakekat korupsi sama dengan pengkhianatan. Pengkhianatan yang dilakukan oleh para pejabat atau pegawai negara untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi, selama itu pula keuangan negara atau perekonomian negara pasti mengalami kerugian.[16]

Rakyat jelas akan menjadi korban akibat konspirasi yang mereka bangun. Korupsi dalam konteks ini juga akan memberikan dampak yang sangat besar terhadap kehidupan rakyat kecil. Kenyataan ini juga dibenarkan oleh S. Yunanto bahwa KKN juga akan menjauhkan bangsa ini dari cita-cita keadilan, karena arah kebijakan publik tidak akan berpihak pada kepentingan rakyat banyak sebagai pemegang kedaulatan rakyat.[17]

Ketiga, aspek sosial dan budaya. Korupsi juga akan sangat berdampak sangat tinggi terhadap pola perilaku masyarakat, perilaku korup akan membangun mental masyarakat yang hipokrit yang termanifestasikan dalam sikap “mumpungisme” . Hal itu jelas akan merusak mental bangsa ini, bangsa yang penuh dengan korupsi, sangat potensial melahirkan generasi yang bermental sangat dangkal, perilaku ikhlas tanpa pamrih akan sangat jarang ditemukan dalam kondisi seperti ini. Perilaku korup juga sangat potensial membangun mental penjilat dan mendidik masyarakat untuk menjadi penipu dan maling bangsa.

Dampak-dampak tersebut tentunya akan sangat memberatkan bagi bangsa ini, setidaknya pengalaman selama bertahun-tahun selama Orde Baru berkuasa yang pada giliranya mengklimaks pada malapetaka krisis tahun 1998 yang lalu. Akibatnya bangsa kita harus menuai derita dan mengalami kelumpuhan di semua sektor kehidupan. Ketenteraman dan kemakmuran yang menjadi cita-cita ideal UUD’45 sama sekali tidak pernah terbukti secara total. Penguasa-penguasa yang diberi kesempatan memimpin bangsa ini, rata-rata tidak mampu memberikan solusi yang nyata atas prahara krisis yang tengah menimpa bangsa. Keadilan dan kemakmuran masih sebatas keinginan dan masih belum menjadi fakta konkret yang membanggakan.

Agenda Mendesak Reformasi :

Melawan Korupsi secara Kaffah

“…….. satu-satunya cara yang tepat untuk membereskan keadaan negara kita adalah dengan tindakan-tindakan yang tegas. Siapa saja yang bersalah harus diadili, tanpa melihat jabatannya ataupun jasa-jasanya. Setiap koruptor harus ditangkap tanpa melihat apakah dia baju hijau, baju putih atau baju merah…….” [18]

Memberantas korupsi menjadi tugas kita bersama. Keluar dari tradisi bejat korupsi mutlak kita lakukan, walaupun tentu hal ini merupakan pilihan yang sangat sulit. Bukan berarti tidak bisa, tetapi lebih karena di dasari oleh kenyataan bahwa korupsi telah menggurita dalam semua sisi kehidupan ini, lebih-lebih dalam sistem peradilan yang kita miliki. Sistem hukum kita tidak lagi mampu menjadi sarana mencari keadilan, karena sistem hukum kita juga dibangun di atas korupsi mengkorupsi. Koruptor bisa tidak dianggap telah melakukan kejahatan korupsi dengan kekuasaan materi yang dimiliki, karena harga hukum yang ada bisa dibeli dengan uang dan materi. Bukannya tanpa alasan kalau banyak orang menyebut negeri ini sebagai republik kleptokrat. Ada segudang kenyataan empiris bahwa tidak ada ruang kosong di negeri ini yang tidak diisi maling. Apalagi di sektor publik yang selama ini pengawasannya masih sangat lemah.[19]

Akan tetapi, bukan berarti persoalan korupsi tidak bisa kita berantas. Komitmen yang kuat akan mampu mengalahkan segala-galanya. Kontrol besar masyarakat terhadap kekuasaan mutlak harus digalakkan, sebab apapun produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah tanpa adanya dukungan elemen-elemen masyarakat yang lain komitmen pemberantasan korupsi tidak akan pernah menjadi kenyataan. Yang lebih memprihatinkan, kadangkala dunia hukum yang ada juga menjadi sarana komunikasi dan transaksi berlakunya hukum korup. Tidak salah kalau dalam kenyataannya, seorang pejabat atau siapapun yang telah melakukan korupsi bisa selamat dan bernafas lega, karena hukum telah dimandulkan akibat konspirasi korup antara penegak hukum dengan pembeli hukum (koruptor).

Oleh karena itu, sebagai bukti bahwa kita akan konsisten dalam perjuangan melawan korupsi, yang dibutuhkan hanyalah komitmen bersama bahwa korupsi yang dilakukan oleh siapapun (tanpa pandang bulu) merupakan kejahatan yang harus dilawan. Para koruptor dari kelas manapun baik kelas –meminjam istilah Soe Hok Gie – baju hijau, baju putih dan baju merah harus diadili secara hukum sesuai dengan tindakan kejahatan yang dilakukan. Pemberantasan korupsi harus dilakukan di setiap lapisan masyarakat agar budaya korup tidak lagi menghinggapi semua pihak, termasuk aparat penegak hukum, karena tidak berarti tidak mungkin teriakan pemberantasan korupsi dalam praktiknya dilanggar secara sadar oleh mereka yang selayaknya menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan.[20]

Bangsa ini mungkin bisa berkaca pada beberapa negara yang telah berhasil memberantas korupsi, seperti yang diteliti oleh Robert Klitgart, sosiolog antikorupsi terkemukan di AS yang senantiasa memberikan penawaran institusional dalam mengerem laju korupsi, seperti di Hongkong, pemerintahan kota New York di Amerika Serikat dan kota Lapaz di Bolivia. Ketiga pengalaman tersebut dapat dijadikan sebagai pelajaran bahwa tidak ada alasan untuk menunda pemberantasan korupsi atau membiarkannya sama sekali meskipun dalam situasi yang sulit, dengan tidak mengabaikan agenda pembangunan lainnya.[21]

Disamping itu, gerakan moral dan upaya-upaya penyadaran tentang bahaya korupsi harus tetap digalakkan menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat luas. Dorongan moral dari semua elemen masyarakat, seperti ORMAS[22] dan organisasi kepemudaan[23] harus mampu menjadi pelopor total terciptanya kesadaran utuh masyarakat tentang bahaya korupsi serta ditopang dengan kepastian hukum yang kuat akan mampu menekan kebiasaan korupsi di tengah-tengah kita. Contoh sederhananya adalah hukuman tembak mati bagi seorang koruptor merupakan salah satu langkah nyata untuk menghentikan mengguritanya praktik korupsi yang terjadi di tengah-tengah kita.

Dengan agenda perlawanan semacam ini, cita-cita besar untuk menciptakan bangsa yang bersih dari praktik korupsi akan tercipta. Sebab tanpa adanya komitmen bersama untuk satu dalam satu kata “lawan” terhadap bahaya korupsi, kita tidak akan pernah keluar dari jebakan tradisi bejat korupsi, karena yang menjadi akar krisis multidimensi yang menimpa negeri ini pada hakikatnya karena bangsa ini tengah dikuasai oleh wajah-wajah koruptor yang hanya menjadikan kepentingan publik untuk memenuhi ambisi pribadinya. Pencegahan secara kaffah dan tekanan besar-besaran dari seluruh elemen masyarakat terhadap persoalan korupsi menjadi syarat wajib yang harus dilakukan. Ganyang para koruptor tanpa memandang dari mana, siapa dan memiliki jabatan apa ia datang. Adili dan hukum dengan hukuman seberat-beratnya agar menjadi pelajaran bagi yang lain[24].

Me-revitalisasi kejujuran hati nurani dan pendidikan moral serta kesadaran yang kuat, menjadi langkah awal untuk memulai hidup tanpa korupsi. Karena persoalan korupsi yang luar biasa bagi bangsa ini secara substansial tidak lepas dari rapuhnya persoalan moral dan hancurnya hati nurani ; semua orang telah hidup dalam kebuasaan untuk mencari kepuasaan, maka perilaku korupsipun menjadi pilihan yang tidak dapat dibendung. Impian menjadi bangsa yang bersih tidak akan pernah menjadi kenyataan, selama penyakit korupsi masih tetap menjadi aktivitas yang tak terpisahkan.

Kita harus bersatu padu untuk kembali mengembalikan bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat dan bermoral, karena dengan persatuan kita akan melahirkan kekuatan, dan dengan kekuatan kita akan melahirkan keberhasilan. Kesadaran membasmi korupsi harus kita mulai dari diri sendiri, bangsa dan negara, sejak saat ini dan sampai kapanpun, karena korupsi adalah musuh abadi bangsa dan negara. Sudah waktunya kita mengakhiri pribumisasi korupsi ini dan sudah saatnya kita melakukan de-pribumisasi terhadap korupsi untuk membangun generasi bangsa yang tanpa korupsi : bangsa yang selalu menempatkan kejujuran, keadilan, kemakmuran dan ketenteraman bersama sebagai tujuan utamanya.

Dalam konteks ini, persoalan korupsi harus selalu dijadikan sebagai beban perjuangan reformasi, sehingga tercipta kehidupan yang benar-benar sesuai dengan arah reformasi, antara lain nilai-nilai dasar reformasi adalah kejujuran, keadilan dan ketegasan dalam melawan setiap perilaku yang berlawanan dengan ajaran moralitas dan sosial kehidupan kita. Reformasi harus terus bergerak dinamis, tanpa sedetikpun terhenti.


[1] Proses reformasi yang pada akhirnya mampu memaksa Soeharto lengser, semakin radikal dilakukan oleh rakyat pada tahun 1998. Dalam tiga bulan, sejak awal Maret 1998, demo mahasiswa yang dimulai dengan pernyataan keprihatinan, telah menjadi tuntutan reformasi politik, dengan dukungan massa dari segenap kampus di Indonesia. Pada pertengahan Mei 1998 ini, tuntutan reformasi politik telah ditajamkan dalam bentuk suksesi pemimpin negara, rombak atau ganti kabinet, restrukturisasi DPR dan MPR, adakah sidang umum Istimewa MPR, laksanakan Pemilu, ubah Paket UU politik, dan bahkan bentuk majelis kepemimpinan rakyat. Namun demikian, pemerintah dengan kokoh menolak tuntutan tersebut, kecuali hanya menjanjikan pelaksanaan reformasi di tahun 2003 sambil mengajak rakyat untuk membicarakan atau mempersiapkannya sejak sekarang ini. Janji ini dianggap palsu oleh mahasiswa, maka mahasiswapun bersikap lebih tegas atas tuntutannya. Lihat. Arbi Sanit, Reformasi Politik (Yogjakarta, Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 124

[2] Eko Prasojo, “ Menggagas UU Administrasi Pemerintahan”, dalam Harian KOMPAS, 25 April 2008

[3] Lihat Danang Widoyoko, “ Budaya Korupsi VS Korupsi Sistemik” dalam A. S. Burhan, edit, Korupsi di Negeri Beragama : Iktiar Membangun Fiqh Anti Korupsi, Korupsi di Negeri Kaum Beragama : Ikhtiar Membangun Fiqh Anti Korupsi (Jakarta, P3M-Kemitraan Patnership, 2004) hlm. 115

[4] Lihat Rio Ismail, dkk, Suara Mayoritas yang Samar : Studi Tentang Respon Partai Politik terhdap Kepentingan Perempuan Menjelang Pemilu 2004 ( Jakarta, Solidaritas Perempuan, tanpa tahun terbit), hlm. 43

[5] Arbit Sanit, “Korupsi Sebagai Sistem Politik Penjarahan”, dalam A.S. Burhan dkk (editor), Kumpulan Naskah - Teks Khutbah : Menolak Korupsi Membangun Kesalehan Sosial (Jakarta, P3M, tanpa tahun terbit), 141

[6] Akhmad Gojali Harahap, PMII : Pelopor & Penggerak Perubahan, Jakarta, Pustaka Idigo, 2003), hlm.39

[7] Revrisond Baswir, Di Bawah Ancaman IMF (Yogjakarta, KOALISIANTI UTANG [KAU]-Pustaka Pelajar, 2003) hlm. 161. Bandingkan dengan A.S. Burhan, dkk, Korupsi di Negeri Kaum Beragama : Ikhtiar Membangun Fiqh Anti Korupsi, Lop. Cit. hlm 58. Ia menyenutkan bahwa di Indonesia ‘Kinerja atau prestasi” korupsi sunguh fantastis. Ia merujuk pada laporan resmi BPK (Badan Pengawas Keuangan), ternyata setiap tahunnya pengelola negara telah mengkorup ratusan triliun rupiah. Kredit Macet di 4 Bank BUMN saja menurut BPK mencapai Rp. 189,69 triliyun.

[8] Lihat dalam Endotesnya buku Sindrom Kuasa Ancaman Sistem Politik Demokrasi, Wardi Taufiq dkk [Editor](Jakarta, Democratic Institute, 2005), hlm. 280

[9] Abd. A’la, “ Menyoal Minat Baca” dalam Jurnal EDUKASI, nomor 03. Tahun 2005. hlm. 2

[10] Informasi ini penulis dapatkan dari laporan Jawa Post, 2 September 2005 “Polri Akan Pulangkan Indra Djati dari AS”. Pemulangan ini, menurut laporan itu, karena Indra Djati (mantan Dirjen Diknasmen Depdiknas) setelah ia dinyatakan sebagai tersangka kasus korupsi

[11] KH. A. Musta’in Syafi’ie bahkan dengan sangat rapi mengilustrasikan tentang menguatnya praktik korupsi di tengah-tengah masyarakat bangsa ini. Menurutnya, kebejatan moral korup di negeri ini sudah demikian tidak terbahasakan. Dalam berbagai dialog, seminar, diskusi, sarasehan, tulisan, dan lain-lain, seluruhnya menggambarkan keadaan kronis yang sangat mengerikan. Ada yang mengibaratkan bagai kanker ganas yang telah menyebar ke seluruh organ tubuh. Ada yang menggambarkan kayak air comberan, dimana bangsa Indonesia ada di dalamnya. Ada yang menyajikan anekdot dengan menunjukkan bahwa zaman Pak Harto, korupsi terjadi di belakang meja. Tetapi zaman setelahnya, korupsi di atas meja. Sekarang, sekalian mejanya dikorup terang-terangan. Lihat. Tulisannya, Ironis di Negeri ini Korupsi itu “Cita-cita” dalam Kumpulan Naskah-Teks Khutbah Menolak Korupsi Membangun Kesalehan Sosial, hlm. 40

[12] Yang dimaksud dengan Tindak Pidana Korupsi dalam UU No. 31 tahun 1999 pasal 2 adalah “ setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1000.000.000,00 (satu miliyar rupiah). Lihat Ikhwan Fahrojih dkk, Mengerti dan Melawan Korupsi, (Jakarta, YAPPIKA-Malang Corruption Watch [MCW], 2005) hlm. 9

[13] Johnson Panjaitan, “Evaluasi atas Pemberantasan Korupsi”, dalam Jawa Post, 2 Agustus 2005. Bahkan komitmen pemberantasan korupsi juga menjadi bagian perjuangan beberapa partai politik. Kebijakan-kebijakan partai politik untuk menangani isu korupsi bisa dilihat dari beberapa indikator kepedulian, sejauh mana partai politik memiliki perhatian dan upaya-upaya pemberantasan korupsi. Misalnya indikator penilaian, dari sisi Visi-Misi : Anti korupsi, kolusi dan nepotisme serta politik uang yang ditegaskan di dalam aturan dasar organisasi. Dari sisi Anggaran Dasar : ada ketentuan tentang sanksi internal organisasi terhadap kader partai yang melakukan korupsi, kolusi, nepotisme dan politik uang. Dan dari sisi program, antara lain, pertama, pengusutan pejabat pemerintah, yudikatif, legislatif maupun pemimpin atau pengurus partai yang terlibat korupsi dan politik uang. Kedua, pengadilan terhadap para penjahat ekonomi yang telah menggerogoti uang rakyat. Ketiga, transparansi pengelolaan dana publik. Keempat, berinisiatif menyusun peraturan perundangan anti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kelima, meniadakan korupsi, kolusi dan nepotisme maupun politik uang dalam kampanye dan penentuan anggota legislatif. Keenam, tidak menjadi pelaku atau beking pelaku korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Ketujuh, mendorong atau tidak menghalang-halangi upaya lembaga atau gerakan masyarakat untuk pemberantasan korupsi. Lihat. Rio Ismail, dkk. Op. cit, hlm. 44

[14] Lihat, Tim Humanika, editor, BLBI : Megaskandal Ekonomi Indonesia (Jakarta, Humanika, 2001), hlm.v

[15] Lihat dalam bukunya, Mengerti dan Melawan Korupsi. Hlm. 21-25

[16] Dikutip dari Revrisond Baswir, Lop. Cit. hlm. 162

[17] Lihat S. Yunan, “ EVALUASI PEMILU 2004 : Riak-Riak Dalam Gelombang Demokratisasi di Indonesia , dalam Wardi Taufiq, Sindrom Kuasa : Ancaman Sistem Politik Demokrasi, hlm. 64.

[18] Kalimat ini merupakan bagian dari dari catatan Soe Hok-Gie. Lihat dalam John Maxwell, Soe Hok-Gie : Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani (Jakarta, PT. Pustaka Utama Graffiti, 2001), hlm. 255

[19] Lihat. Akhmad Gojali Harahap, hlm. 45

[20] Lihat Tabrani Sarbini, MA. Lop. Cit. hlm. 241

[21] Dikutip dari tulisan Teten Masduki, “Strategi Memerangi Korupsi”, dalam A.S. Burhan, dkk, Korupsi di Negeri Kaum Beragama : Ikhtiar Membangun Fiqh Anti Korupsi, hlm. 76

[22] Seperti gerakan anti korupsi yang pernah dilakukan bareng antara NU-Muhammadiyah belum lama ini.

[23] Dari unsur organisasi kepemudaan, salah satunya telah dimulai oleh PKC PMII Jawa Timur, 25 Agustus 2005 melalui agenda Manifesto Basmi Korupsi. Gerakan-gerakan moral seperti ini menjadi sangat penting untuk selalu digeliatkan oleh organ-organ yang lain, yang kemudian harus dapat ditindak lanjuti menjadi aksi nyata bahwa korupsi memang harus diberantas. Tanpa adanya rasa persatuan antara berbagai elemen bangsa ini, keinginan untuk memberantas korupsi hanya akan tinggal impian. Korupsi harus kita jadikan sebagai musuh bersama yang harus dihadapi secara bersama-sama pula.

[24] Maka dukungan dan dorongan moral seperti fatwa koruptor mati tidak boleh dishalati yang dihasilkan dalam Munas Ulama NU di Jakarta pada akhir Juli 2002 tahun kemarin menjadi sesuatu yang sangat berarti dalam merespon gejala berlebihan praktik korupsi di negara ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih atas komentar anda