Jumat, 23 Januari 2009

Membumikan Nalar Transformasi Zakat

Mohammad Suhaidi RB


Tragedi zakat Pasuruan beberapa hari yang lalu, tidak hanya menggambarkan tentang peta kemiskinan yang diderita mayoritas masyarakat muslim Indonesia, tetapi dengan tragedi yang menelan 21 korban kaum miskin tersebut, membuktikan bahwa pemahaman keagamaan masyarakat kita masih belum menyentuh secara utuh terhadap makna dan tujuan ideal agama, salah satunya tujuan ideal dalam kewajiban zakat. Akibatnya, agama (zakat) hanya sekedar dilaksanakan tanpa mengikutsertakan tujuan dan target agama, tetapi hanya sebatas perlakuan yang telanjang dan tanpa menyentuh gagasan dasar ajaran zakat.

Tragedi zakat Pasuruan mungkin hanyalah satu dari sekian tragedi zakat yang menelan korban jiwa paling memprihatinkan. Mungkin saja, sudah seringkali pembagian zakat di daerah lain dilakukan dengan cara-cara seperti yang terjadi di Pasuruan, yaitu zakat hanya dibagikan secara konvensional mendatangkan kaum miskin dan memberinya uang antara Rp. 30.000 – Rp. 50.000. Yang aneh, tragedi Pasuruan ternyata belum bisa dijadikan pelajaran oleh para muzakki yang lain. Cara pembagian zakat dengan pola yang sama masih tetap tidak membuat para muzakki melakukan hal yang sama di sejumlah daerah, termasuk pembagian zakat mal 1 milyar di Blitar (22/09/2008).

Nalar berzakat yang demikian, menurut hemat penulis malah menawarkan kesejahteraan semu kepada para kaum miskin, sebab hanya dengan uang sebesar Rp. 30.000 mereka datang jauh-jauh ke tempat muzakki (pemberi zakat), kemudian saling berebutan antara satu dengan yang lain, sampai-sampai melupakan persaudaraan kemanusiaan, karena yang ada di benak kaum miskin yang hadir tersebut hanyalah mendapatkan jatah zakat dengan cepat, tanpa mempertimbangkan aspek persaudaraan dan kondisi calon penerima zakat yang lain.

Kita mungkin telah menyaksikan, baik melalui media cetak atau elektronik bagaimana kondisi kaum miskin saat berebutan zakat di Pasuruan. Mereka saling berdesakan, saling gesek dan bahkan saling injak. Yang lemah tentu saja akan kalah dan yang kuat tentu saja akan menjadi pemenang dalam mendapatkan zakat lebih dulu. Zakat pada gilirannya tercipta sebagai media untuk membuat yang menderita semakin menderita dan membuat yang kuat berhak menggeser yang lebih lemah.

Teologi Zakat yang Rahmatan

Visi strategis kedatangan Islam adalah sebagai agama rahmatan lil alamin. Konsekwensi logis dari visi tersebut bahwa Islam menawarkan perpaduan antara ajaran spritual-sosial yang tidak bisa dipisahkan. Islam hadir dengan dua ajaran dasar yang saling padu, yaitu ajaran moral dan sosial (hablum minallah wa hablum minannas : relasi dengan Allah dan relasi dengan sesama manusia). Sebagai agama yang menawarkan konsep rahmatan secara otomatis Islam tidak bisa dipahami hanya dengan memprioritaskan aspek ritual, tetapi juga aspek sosial, sebagai efek penting dari ajaran Islam. Zakat bukan hanya sebatas ajaran ritual Islam, tetapi yang lebih mendasar bahwa zakat lebih merefleksikan tentang ajaran sosial Islam dengan visi kerahmatan yang jelas. Dalam al-Qur’an disebutkan : ”Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Qs. At-Taubah, 9 : 60).

Dalam keterkaitan ini, Islam akan selalu tampil dengan wajah yang multi (multi face) dalam melakukan pembacaan terhadap kenyataan hidup yang terjadi, sehingga ideal moral Islam selalu menjadi sesuatu yang nyata. Islam akan sesuai dengan apa yang pernah utarakan oleh Peter L. Berger, bahwa agama merupakan legitimasi paling efektif. Karena agama yang paling komprehensif dalam membicarakan tentang realitas, seperti tragedi, penderitaan, serta ketidakadilan.

Kewajiban mengeluarkan zakat dalam Islam memiliki kaitan erat dengan tujuan dasar Islam sebagai agama rahmatan yang tidak hanya berhubungan dengan masalah “ sekedar kewajiban” mengeluarkan zakat, tetapi juga sangat terkait dengan pengelolaan dan distribusi zakat yang bisa berdampak pemberdayaan sosial terhadap masyarakat yang membutuhkan.

Pola distribusi zakat konvensional yang selama ini berkembang di kalangan muzakki, harus kembali dilihat bukan hanya dengan kacamata tekstual (zakat sebagai sesuatu yang wajib), tetapi harus dilihat dari sisi sosial etis teologis zakat yang berjangka panjang. Apalagi, tragedi Pasuruan malah semakin membenarkan adanya paradoks antara tujuan sosial zakat dengan realitas yang terjadi. Itulah gambaran tentang zakat yang hanya didekati dengan teologi apatis, yang tidak mampu menghadirkan zakat yang substansial, sehingga nilai etis zakat tidak bisa terbumikan dengan baik.

Mengakrabkan zakat dengan pendekatan teologis yang transformatif belum mampu menjadi bagian kesadaran masyarakat, sehingga menimbulkan sesuatu yang berbalik arah dengan tujuan esensial ajaran zakat. Distribusi zakat yang oleh al-Qur’an dimaksudkan untuk mensejahterakan masyarakat miskin, pada gilirannya melahirkan penderitaan yang berlipat (sampai berujung kematian para masakin). Akibatnya, zakat tidak lagi mampu menciptakan kesejahteraan jangka panjang bagi masyarakat miskin, karena para muzakki kita masih lebih tertarik dengan pola distribusi yang hanya melahirkan kesejahteraan yang instan.

Uang zakat sebesar Rp. 20.000-Rp.30.000 yang diterima dari muzakki untuk setiap invidu saat ini tidak lagi bernilai untuk memenuhi kebutuhan hidup di tengah harga kebutuhan pokok yang terus melonjak. Jumlah uang sebesar itu hanya bersifat sementara (instant) dan tidak bisa menyentuh pada sendi vital tujuan zakat utuk memberdayakan masyarakat miskin. Padahal, masyarakat miskin memiliki masalah hidup yang sangat kompleks, bukan hanya masalah ekonomi, tetapi mereka juga memiliki masalah dengan kesehatan dan pendidikan.

Oleh karena itu, distribusi zakat oleh muzakki harus didasarkan pada kebutuhan masyarakat yang kompleks, bukan hanya dilihat dari satu aspek “ membantu masyarakat miskin dengan jumlah yang hanya cukup untuk mengganjal perut’, tetapi harus dilihat secara komprehensif untuk membebaskan kehidupan masyarakat secara perlahan. Tujuan itu pada gilirannya menunutut adanya perubahan paradigma dalam pendistibusian zakat oleh muzakki dan tidak cukup hanya didistribusikan dengan pola konvensional dan jumlah jatah zakat yang pas-pasan.

Akhirnya, sudah zamannya ajaran agama (zakat) diterjemahkan sesuai dengan prinsip ideal moral yang mengitari perintah zakat. Berbagai kasus yang terjadi di sekitar distribusi zakat yang selama ini terjadi, harus dibaca secara kritis untuk melakukan reorientasi terhadap ajaran zakat agar bisa bermakna secara riil dalam kehidupan nyata, terutama dalam rangka menciptakaan kesejahteraan masyarakat miskin yang membutuhkan kepedulian dari para muzakki, sehingga agama tidak hanya dijalankan dengan semangatnya yang tekstual, tanpa diimbangi dengan ideal moral agama. Para muzakki, seyogyanya tidak hanya sekedar berlomba mengumpulkan orang banyak (masakin), tetapi berlomba mendistribusikan zakat untuk membebaskan dan memberdayakan problem social masyarakat miskin yang serba kompleks.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih atas komentar anda