Sabtu, 17 Januari 2009

Pemalsuan Hadist: Embrionisasi, Motif dan Ciri-Ciri Hadist Palsu

Pendahuluan

Dalam Islam, al-Qur’an dan hadist merupakan sumber agama yang sangat mendasar, yang secara normatif mengatur dan menjadi landasan kehidupan, baik kehidupan spiritual maupun kehidupan sosial. Keduanya memiliki posisi yang substansial dalam Islam. Al-Qur’an dan hadist merefleksikan tentang kebenaran Islam, karena dari Qur’an dan hadist, setiap pemikiran tentang Islam ditentukan. Setiap persoalan kehidupan dan masalah-masalah yang terkait dengan keislaman harus dirujukkan terhadap keduanya. Apa yang dikatakan oleh al-Qur’an dan hadist merupakan kata-kata kebenaran. Al-Qur’an secara mutlak berasal dari Allah, sehingga memiliki kebenaran yang mutlak. Hadist juga demikian, karena hadist berasal dari setiap aktivitas kehidupan Nabi Muhammad, baik secara qauli, fi’li dan taqrir Nabi, sementara apapun yang dilakukan oleh Nabi tidak pernah terlepas dari pesan-pesan ilahiah. Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan bahwa tiada yang diucapkan oleh Nabi, kecuali wahyu. Asumsi ilahiah ini, tentu saja memberikan gambaran bahwa Rasulullah merefleksikan tentang firman Allah yang tidak bisa ditolak.

Dalam konteks al-Qur’an dan hadist sebagai sumber Islam, sampai kapanpun tidak akan pernah berubah. Keduanya telah ditetapkan sebagai pijakan dasar dalam Islam yang tidak akan mungkin bisa berubah ataupun dirubah. Polemik atas sumber yang pertama biasanya berpangkal pada penafsiran yang dilakukan, sementara pada sumber yang kedua lebih fokus pada keabsahan hadist, salah satunya femenona hadist palsu yang telah banyak menguras energi para ulama hadist.

Munculnya fenomena hadist palsu tentu saja sangat menganggu terhadap eksistensi hadist sebagai sumber Islam, karena disinyalir lahirnya hadist-hadist palsu berimbas terhadap kepercayaan terhadap hadist-hadist yang asli dari Nabi. Memisahkan antara hadist asli dengan hadist palsu merupakan sesuatu yang serba rumit, sehingga dibutuhkan selektifitas yang tinggi untuk memisahkan keduanya. Tidak heran apabila dikalangan umat muslim sendiri, muncul kelompok yang menolak kehadiran hadist sebagai sumber Islam. Hal itu sangat wajar terjadi, karena dalam sejarah hadist, beribu-ribu hadist telah diciptakan, sehingga bisa mengaburkan antara hadist asli dengan hadist buatan.

Mereka hanya meyakini dan beranggapan bahwa sumber Islam hanyalah al-Qur’an yang notabene jauh dari pemalsuan. Proses penulisan hadist yang sangat panjang dan memiliki jarak sangat jauh dengan zaman Nabi, sangat memungkinkan terjadi penyelewengan terhadap keberadaan hadist asli. Inilah sejarah pahit tentang hadist. Akibat berbagai kepentingan, banyak hadist yang sengaja diciptakan dan dikatakan berasal dari Nabi[1] oleh inividu ataupun kelompok-kelompok yang tidak bertanggungjawab.

Bahkan dalam kitab hadist yang kesahihannya telah diakui, seperti kitab hadist yang ditulis oleh Imam Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari (194-256 H) dan kitab hadist yang ditulis oleh murid Imam al-Bukhari, yaitu Imam Muslim (204-261 H).[2] Dua kitab hadist tersebut di kalangan umat Islam dianggap sebagai icon hadist terpercaya dan tidak satupun memuat hadist-hadist palsu, tetapi ternyata tidak semuanya benar, karena ciri hadist palsu tidak hanya bisa diukur melalui aspek periwayat hadist, tetapi juga terkait dengan isi (matan) hadist, yang seringkali memperlihatkan adanya paradoks dengan penjelasan yang ada dalam al-Qur’an.

Dalam tulisan ini, penulis bermaksud untuk membaca kembali secara kritis tentang posisi hadist palsu yang telah memakan energi dan pemikiran para ulama hadist serta mempertimbangkan kembali keberadaan hadist sebagai sumber hukum Islam, sehingga sumber hukum Islam tidak akan terkontaminasi dengan sumber-sumber yang tidak secara genuine datang dari Allah dan Nabi Muhammad SAW.

Embrionisasi Pemalsuan Hadist

Pada masa hidupnya, Rasulullah melarang keras penulisan hadist. Beliau tidak pernah memberikan idzin para sahabat yang bermaksud untuk mendokumentasikan hadist dengan alasan apapun. Salah satu alasan Nabi yang tidak bisa diganggu gugat dalam rencana penulisan hadist adalah : khawatir bercampur dengan al-Qur’an. Nabi tidak pernah menginginkan al-Qur’an yang mutlak kebenarannya dari Allah, bercampur dengan hadist-hadist yang berasal dari kebiasaan Nabi, karena sangat mungkin, percampuran itu terjadi, sehingga Nabi melarang penulisan hadist. Hadist yang paling sahih tentang larangan penulis hadist pada masa Nabi ialah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri : “Jangan menulis apapun dariku, kecuali Al-Qur’an. Orang yang telah menulis apapun dariku yang bukan Al-Qura’an, maka dia harus menghapusnya”.[3] Juynboll menyimpulkan bahwa pertama, kelihatan bahwa mayoritas sahabat Nabi tidak melakukan penulisan, bahkan setelah wafat Nabi. Kedua, tidak mungkin terjadi pembuatan daftar tertulis segera setelah wafat Nabi Muhamad. Kalau tidak akan banyak sekali hadist mutawatir yang sampai kepada kita.[4]

Pada masa Nabi, hadist palsu tidak pernah didapatkan, karena posisi Nabi yang memiliki otoritas penuh untuk dikonfirmasi setiap apa problem dengan masalah-masalah keagamaan dan sosial. Pengakuan salah seorang sahabat Nabi, Anas bin Malik, yang sekaligus bertugas menjadi pembantu Nabi. Anas menjadi pembantu Nabi cukup lama sekitar 25 tahun dan kebersamaannya dengan Nabi, sudah tentu membuat Anas sangat memahami tentang Nabi dan keluarganya. Anas pernah berkata, “ selama saya menjadi pembantu Nabi, saya tidak pernah ditanya oleh Nabi, dengan pertanyaan, kenapa kamu mengerjakan ini dengan seperti ini? Yang seringkali dikatakan oleh Nabi kepada saya adalah, apa yang bisa saya lakukan untukmu wahai Anas? Itulah ucapan seorang juragan kepada pekerjanya. Di kalangan sahabat, tidak ada orang yang berbohong. Demikian dituturkan oleh Anas.[5]

Pengakuan sahabat Anas merupakan bentuk legitimasi bahwa pada saat Nabi masih hidup, para sahabat sangat stabil, tidak ada yang berbohong atas ungkapan dan apapun yang dilihat langsung dari Nabi. Itulah salah satu keuntungan sangat berharga pada saat Nabi masih hidup dan bersama dengan sahabat. Nabi mampu menjadi referensi total bagi para sahabat dalam menafsirkan dan menjalankan agama dengan baik, sehingga tidak ada yang jauh melenceng dari ajaran al-Qur’an, Karena setiap penafsiran dilakukan atas kehendak dan patokan dari Nabi secara langsung. Apalagi, pada saat beliau masih hidup, beliau sangat lantang mengkampanyekan untuk mengingatkan para sahabat bahwa siapapun yang memalsukan atau bahkan membuat hadist palsu akan diancam dengan neraka. Muhammad bin Alwi al-Maliki, menetapkan hadist palsu sebagai hadist yang batil dan haram meriwayatkannya.[6]

Problem sangat krusial tentang penafsiran dan hadist muncul, setelah Rasulullah wafat. Para sahabat bagaikan kehilangan pegangan yang selama Nabi masih hidup dijadikan sebagai sumber rujukan tanpa reserve. Berbagai persoalan bermunculan di kalangan sahabat dan seringkali tidak mendapatkan pemecahan yang mampu meredam atas problem yang terjadi. Benih-benih perpecahan telah muncul sejak Rasulullah wafat, bahkan masalah pengganti Rasulullah setelah beliau wafat sempat menjadi polemik serius di kalangan elit sahabat pada waktu itu. Sahabat tidak lagi menemukan sosok yang mampu memberikan jawaban dan pemecahan atas masalah yang dihadapi. Akibatnya, para sahabat hanya bisa mengandalkan pemikiran dan analisa mereka sendiri dalam memahami masalah sosial yang terjadi, termasuk dalam memahami agama (al-Qur’an), bahkan wafatnya Nabi juga memberikan peluang yang besar terhadap setiap upaya penyelewengan terhadap hadist-hadist Nabi.

Bahkan beberapa abad setelah Nabi wafat, hadist-hadist buatan (palsu) bermunculan mencapai ribuan, sehingga membuat posisi hadist yang asli dari Nabi terkontaminasi dengan hadist-hadist yang tidak absah dari Nabi. Dengan berbagai kepentingan banyak orang yang sengaja menciptakan hadist-hadist baru, sehingga hampir saja mengaburkan tentang hadist yang sebenarnya berasal dari Nabi. Hadist palsu merupakan sesuatu yang tidak benar dan disandarkan kepada Nabi, baik menyangkut perbuatan, kata-kata ataupun taqrir Nabi.[7]

Fenomena ini tentu saja merupakan bentuk kondisi yang sangat merugikan bagi umat Islam. Munculnya hadist palsu, di satu sisi menjadi bumerang bagi eksistensi hadist Nabi yang sebenarnya dan disinyalir tidak bersih dari hadist-hadist buatan, sehingga mengaburkan antara hadist asli dengan hadist palsu. Wafatnya Rasulullah tidak hanya membuat umat Islam kehilangan seorang figur inti dalam sejarah Islam, tetapi juga menjadi embrio awal munculnya berbagai problem di tubuh umat Islam sendiri. Bahkan, tidak adanya Rasulullah bukan hanya melahirkan perpecahan di kalangan umat Islam, yang paling memprihatinkan pada gilirannya ialah munculnya keberanian di kalangan umat Islam untuk berbuat sesuatu yang dilarang oleh Nabi. Munculnya berbagai penyelewengan terhadap ajaran Islam dan lebih-lebih terhadap hadist Nabi merupakan fenomena baru pasca wafatnya Rasulullah.

Motif Gerakan Pemalsuan Hadist

Proyek penulisan hadist dilakukan beberapa abad setelah Rasulullah wafat. Gagasan penulisan hadist, mungkin saja terinspirasi seperti halnya gagasan penulisan al-Qur’an yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Faktor penulisan al-Qur’an dimotivasi oleh satu kekhawatiran al-Qur’an akan hilang, karena banyak sahabat penghafal al-Qur’an yang mulai wafat dan teks-teks al-Qur’an yang sempat tercatat menjadi raib, apabila dibiarkan al-Qur’an akan hilang dan tidak akan awet sepanjang masa. Untuk menyelamatkan al-Qur’an, khalifah Umar merancang rencana besar, yaitu menuliskan al-Qur’an dalam bentuk teks, sehingga bisa dibaca dalam sepanjang zaman.[8] Pada saat memerintah, Umar juga memiliki rencana untuk membukukukan hadist dan disampaikan kepada para sahabat, tetapi setelah beristikharah selama satu bulan lamanya, Umar menggagalkan rencana kreatif membukukan hadis.

Mega proyek pembukuan al-Qur’an ala Khalifah Umar ini merupakan prestasi yang sangat bombastis dan strategis, karena menyelamatkan (teks) al-Qur’an sama halnya dengan menyelamatkan sumber pokok ajaran Islam. Walaupun gagasan Umar ini sebatas menuliskan kembali dalam satu teks khusus, tetaplah merupakan gagasan penyelamatan yang tepat, karena pada masa Nabi setiap kali ada wahyu turun, Rasulullah langsung menyuruh para sahabat yang terpercaya untuk menuliskannya. Para sahabat yang diangkat sebagai sekretaris wahyu tersebut berjumlah 40 orang. [9]

Kodisi ini yang membedakan antara penulisan hadist dengan al-Qur’an. Jarak waktu penulisan al-Qur’an yang dekat, sangat mustahil terjadi penyelewengan terhadap penulisan ayat-ayat al-Qur’an. Berbeda dengan penulisan hadist Nabi yang baru ditulis beberapa abad setelah Nabi wafat, karena pada saat Nabi masih hidup, beliau melarang keras penulisan hadist. Jarak waktu antara masa produksi hadist dengan penulisan hadist, terbuka lebar terjadi berbagai penyelewengan terhadap hadist dan rekayasa hadist-hadist baru. al-Muwattha’, kitab hadist tertua yang ditulis oleh imam Malik (713-795 M) yang ditulis kira-kira satu abad setelah Rasulullah wafat, masih terdapat beberapa hadist yang harus dipermasalahkan keabsahannya. Prof. Dr. Muh. Zuhri, menggambarkan :

Bahkan ada penilaian obyektif terhadap kitab ini (al-Muwattha’, penulis) bahwa andai kata tidak ada kitab hadist sahih lain (seperti sahih al-Bukhari dan Muslim) yang memuat hadist-hadist al-Muwattha’ yang harus ditinggalkan karena dari segi sanad tidak sahih.[10]

Pada masa sahabat, antisipasi terhadap penyelewengan hadist masih bisa diantisipasi dengan baik. Para sahabat sangat berhati-hati dalam menerima dan menyebarkan hadist. Umar misalnya, tidak mudah menerima sebuah hadist dari sahabat yang lain tanpa dibarengi oleh seorang saksi. Hal itu dilakukan untuk membuktikan tentang keabsahan satu hadist yang memang berasal dari Rasulullah. As-Siba’i menggambarkan tentang ketidakmungkinan kalangan sahabat melakukan rekayasa hadist :

Telah dibuktikan dalam sejarah bahwa para sahabat tidak pernah mereka-reka hadist Nabi, dan bahwa jika seorang atau beberapa sahabat telah mereka-reka hadist Nabi, maka akan timbul badai protes dari sahabat-sahabat yang lain, suatu protes yang tentu akan disebutkan dalam sumber-sumber historis.[11]

Pada masa Tabi’in, fenomena hadist palsu ini terjadi. Banyak hadist-hadist palsu tersebar, sehingga mengaburkan adanya hadist. Apalagi pada masa tabi’in (pasca sahabat) perpecahan akibat perbedaan pandangan, baik pandangan politik dan pandangan teologis semakin menganga lebar, sehingga munyulut api perbedaan dan perpecahan yang sangat dahsyat. Kasus penetapan khalifah pengganti Nabi pasca beliau wafat dan peristiwa tahkim (arbitrase) yang mendudukkan Ali dan Mu’awiyah sebagai dua kubu yang berseberangan telah menjadi titik pijak sangat urgen dalam sejarah perpolitikan,[12] bahkan perpecahan di tengah-tengah umat Islam. Akibat dua peristiwa penting tersebut, umat Islam harus menelan pil pahit karena harus terkotak-kotak menjadi beberapa aliran, yaitu Khawarij, Syi’ah, Mu’tazilah, dan Sunni.

Dalam perkembangannya, keempat aliran tersebut dengan cara mereka masing-masing saling mengklaim sebagai kubu yang paling benar, termasuk melegitimasi posisi aliran mereka dengan kekuataan agama. Aliran Syi’ah yang menyatakan diri sebagai pendukung Ali secara politik memiliki tanggungjawab besar untuk pasang dada membela Ali sebagai Khalifah pengganti Rasulullah. Mereka meyakini urusan politik kekuasaan (khalifah) sebagai urusan agama, sehingga agama harus dijadikan sebagai pijakan dalam memutuskan dan menjalankan kekuasaan ala Khalifah. Menurut mereka, Ali adalah pengganti Nabi yang telah mendapatkan warisan dari Nabi. Ungkapan yang menjadi dasar klaim mereka adalah sebuah ungkapan, yang menurut aliran ini sebagai hadist Nabi.

هذا وصي والخليفة بعدي

Artinya : Ini (Ali bin Abi Thalib) adalah wasiatku dan pengganti setelah aku

Berdasarkan hadist di atas, kelompok Syi’ah berpandangan Ali dan keturunanya yang berhak menjadi pengganti Nabi dibandingkan sahabat-sahabat yang lain. Dalam keyakinan Syi’ah, siapaun yang merampas kedudukan (kekuasaan, penulis) dari tangan Ali dan keturunannya, termasuk golongan yang dzalim.[13] Klaim- klaim semacam itu juga terjadi pada golongan yang lain, sehingga sangat memungkinkan memakai agama (hadist) sebagai legitimasi mereka. Hadist palsu pada gilirannya menjadi lahan subur untuk dipelintirkan dalam rangka membenarkan golongan dan figur-figur yang dikultuskan.

Dalam konteks ini, penulis mencoba memilah beberapa point penting yang menjadi motif munculnya gerakan pemalsuan hadist oleh beberapa kelompok aliran umat Islam :

1. Politik Kekuasaan

Setelah Rasulullah wafat, polemik penting di tubuh umat Islam adalah mencari pengganti Rasulullah, karena sampai akhir hayatnya, beliau tidak menentukan pilihan siapa yang berhak menjadi pengganti beliau. Akibatnya, setelah beliau wafat, di kalangan sahabat terjadi polemik agak serius untuk menentukan pengganti Rasulullah. Klaim sebagai pengganti Rasulullah antara kubu Anshar dan kubu Muhajirin berlangsung sangat menegangkan. Keduanya saling tarik menarik untuk memberikan posisi pengganti Rasulullah kepada figur terbaik mereka masing-masing. Kubu Muhajirin, tentu saja akan menunjuk Abu Bakar sebagai pengganti Rasulullah, demikian pula halnya dengan kubu Ansar menginginkan pengganti Rasulullah dapat dipegang oleh kader terbaik mereka. Setelah lama, tarik ulur tersebut berlangsung. Susana menjadi tenang, karena kesimpulan dari perdebatan mereka akhirnya menetapkan Abu Bakar sebagai pengganti Rasulullah dan terpilih secara aklamatif.[14]

Perpecahan di kalangan umat Islam semakin menganga, ketika konflik politik terus menghantui Umat Islam, terutama sejak Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah. Berbagai pertentangan terjadi, sampai akhirnya melahirkan tragedi pembunuhan terhadap Usman dan Ali. Terbunuhnya kedua khalifah pada saat mereka memegang posisi sebagai Khalifah, tidak lepas dari persoalan politik kekuasaan yang menjadi rebutan. Apalagi pada masa Ali, persoalan aliran dan kelompok telah menjamur sesuai dengan afiliasi politik dan pandangan keagamaan mereka masing-masing. Kelompok Syi’iah tentu saja menjadikan Ali sebagai satu-satunya figur utama yang super : super dalam masalah keagamaan dan super dalam masalah kekuasaan.

Pengikut Ali dengan gencar terus mengkampanyekan segala ke-super-an Ali dengan memproduk berbagai ibarat-ibarat dan hadist palsu yang mendukung posisi dan eksistensi Ali sebagai figur kelompok Syi’ah.

1) Artinya : Barang siapa ingin melihat ilmu Nabi Adam, ketaqwaan Nabi Nuh, ketabahan Nabi Ibrahim, keperkasaan Nabi Musa dan ibadah Nabi Isa, maka lihatlah sayyidina Ali.

2) Artinya : Mencintai Ali adalah sebuah kebaikan yang tidak akan ternoda oleh keburukan. Membencinya adalah keburukan yang tidak dapat ditebus oleh kebaikan

3) Artinya : Hai Ali, sesungguhnya Allah telah mengampunimu, keturunanmu, kedua orang tuamu, ahlimu, kelompokmu, dan orang-orang yang mencintaimu

Kubu Mu’awiyah yang kontra secara politik dengan Ali tidak tinggal diam dengan propaganda yang dilakukan oleh musuh politiknya. Pengikut Mu’awiyah juga rajin membuat hadist palsu untuk melawan gerakan mempolitisasi hadist yang dilakukan oleh kubu Ali. Beberapa hadist buatan kelompok ini, misalnya :

1) Artinya : Di surga itu tiada pohon kecuali daunnya tertulis ‘La ilaha illallah Muhammad Rasulullah, Abu Bakar al-Shiddiq, Umar al-Faruq, Usman zhun Nurain. Disini tidak menyebut Ali bin Abi Thalib.

2) Artinya : Orang-orang terpercaya itu ada tiga. Saya (Nabi), Jibril, dan Mu’awiyah. Hai Mu’awiyah, engkau di pihakku dan aku di pihakmu

3) Artinya : Berbahagialah orang yang tingal di Syam. Saya bertanya, mengapa wahai Rasul? Jawabnya, karena para Malaikat membentangkan sayapnya untuk mereka

Puncak ketegangan dan tragedi politik di tubuh Umat Islam, menurut hemat penulis tejadi pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Secara politik, posisi Ali berhadapan langsung dengan kelompok oposisi di bawah kepemimpinan Mu’awiyah yang sangat keras menentang kekuasaan Ali.[15]

Sektarianisne politik yang terjadi sejak peristiwa tahkim telah mengakibatkan munculnya perbedaan yang sangat parah di kalangan umat Islam, bukan saja melahirkan pertentangan dan perbedaan dalam masalah politik, tetapi juga keagamaan. Kondisi tersebut pada akhirnya memunculkan pemalsuan hadist, yaitu mengatakan sesuatu dengan ditambahi istilah qola Nabi, padahal pernyataan tersebut bukan berasal dari Nabi. Intensitas pemalsuan hadist dengan tendensi politik, semakin memuncak pada kekuasaan Mu’awiyah.[16] Kelompok khawarij juga melakukan hal yang sama, untuk memperkuat gerakan politiknya, kaum khawarij juga diduga menciptakan hadist palsu. Menurut Fazlurrahman, hadist berikut diduga bersumber dari kalangan Khawarij :

(Kata al-Turmudzi) bercerita kepada kami ‘Ali bin Hujr (yang berkata) telah bercerita kepada kami Baqiyyah bin al-Walid dari Bujayr bin Sa’ad dari Khalid bin Mi’dan dari ‘Abdurrahman bin ‘Amr al-Sulami dari al-‘Irbad bin Sariyyah, berkata : ”Rasulullah SAW telah berpesan kepada kita pada suatu hari setelah salah subuh, dengan pesan (nasehat) yang menyentuh. Karena nasehat itu, air mata berlinang dan hatipun bergetar, lalu seorang laki-laki berkata, “ Sungguh ini nasehat orang yang hendak berpisah, lantas apakah yang hendak engkau pesankan kepada kami, Ya Rasulullah? Maka Rasul berkata : “ Aku berwasiat kepada kamu semua agar bertakwa kepada Allah, mendengarkan dan patuh (kepada pemimpin) meski seorang budak (bangsa Negro, orang inilah yang masih hidup diantara kamu sekalian yang melihat banyak perselisihan. Jauhilah olehmu semua urusan baru yang diada-adakan, karena sesungguhnya hal ini sesat, karena itu barang siapa diantara kamu semua mengalami hal tersebut maka wajib atasmu semua memegangi sunnahku dan sunah al-khulafa al-Rasyidin yang telah mendapatkan petunjuk, pegangilah sunah itu kuat-kuat.[17]

Menurut Sa’dullah Assa’di bahwa hadist di atas mengandung perintah mematuhi pemimpin politik merupakan sikap anti khawarij, tetapi pernyataan tentang seorang (peminpin) yang berkulit hitam jelas – menurut Fazlurrahman - bersifat pro Khawarij. Sementara itu, kalangan Sunni menghendaki agar para pemimpin berasal dari suku Qurays, sedangkan golongan Syi’ah menghendaki agar dipegang oleh keturunan ‘Ali. Hanya kaum khawarij yang memberikan kemungkinan untuk menjadi pemimpin bagi setiap muslim – “meskipun ia seorang budak berkulit hitam”, [18]

2. Mazhab/Teologi

Klaim membenarkan kelompok masing-masing dengan berbagai cara juga terjadi dalam kontelasi perbedaan mazhab yang tejadi dalam sejarah umat Islam. Perbedaan mazhab, baik dalam mazhab fiqh maupun kalam, pada dasarnya sama dengan perbedaan yang terjadi dalam konteks politik. Masing-masing mazhab mencari legitimasi untuk mengorbitkan mazhab mereka masing-masing sehingga menjadi kebenaran yang diyakini oleh khalayak. Antara satu mazhab dengan mazhab yang lain tidak hanya saling hantam dalam mencari kebenaran dalam beragama (fiqh dan kalam), tetapi juga saling serang untuk membenarkan mazhab mereka masing-masing. Akibatnya, mazhab tidak lagi menjadi arena untuk mendiskusikan dan mencari titik temu perbedaan, tetapi malah sebaliknya terjebak dengan saling menyalahkan dan berebut menjadi pihak yang paling benar, dengan menganggap mazhab lain sebagai pihak yang salah. Masing-masing mereka membuat hadist palsu dalam rangka memperkuat posisi mazhab mereka dan menghujat mazhab yang tidak sealiran dengan mereka. Berikut beberapa hadist palsu yang dibuat oleh salah satu kelompok untuk menentang kelompok yang lain :

1) Hadist yang dibuat untuk menghantam paham Mu’tazilah

Artinya : Semua yang ada di langit dan di bumi dan yang diantaranya adalah makhluk, kecuali al-Qur’an……akan datang kaum dari umatku yang berkata bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Barang siapa berkata begitu berarti kafir kepada Allah dan cerai dengan isterinya ketika itu juga

2) Hadist yang dibuat untuk mencela paham Qadariyah

Artinya : Paham Qadariyah adalah kaum Majusi bagi umat ini

3) Hadist yang dibuat untuk menghantam mazhab Imam Syafi’ie

Artinya : Akan lahir di kalangan umatku kelak seorang pria yang bernama Muhammad bin Idris, ia lebih berbahaya ketimbang iblis

3. Tasauf

Selain dua model hadist palsu di atas, juga terdapat hadist buatan (palsu) yang direkayasa oleh beberapa ulama dengan tujuan yang baik, walaupun caranya tetap salah. Banyak ahli zuhud dan orang-orang salih membolehkan rekayasa hadist-hadist baru yang berisi tentang kebaikan dan menganjurkan ibadah serta melarang maksiat. Mereka membolehkan selama tidak sampai menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Hadist-hadist buatan ulama ini, pada gilirannya dimasukkan dalam kitab-kitab keagamaan, sehingga mengesankan bahwa keutamaan yang diamalkan tersebut berdasarkan pada petunjuk Nabi[19] Materi hadist yang mereka buat biasanya berisi tentang ancaman dan kabar gembira serta pentingnya memprioritaskan kepentingan akhirat. Salah satu hadist hasil produk kelompok ini :

Artinya : Barang siapa mengucapkan la ilaha illa Allah maka untuk setiap kata yang diucapkan itu ia telah menciptakan seekor burung yang paruhnya terbuat dari emas dan sayapnya terbuat dari marjam

Dalam konteks ini, motif-motif pemalsuan hadist tersebut merupakan sesuatu yang layak disesali, karena menghancurkan eksistensi dan originalitas al-Hadist sebagai salah satu sumber hukum Islam. Perpecahan yang terjadi pasca Rasulullah, kemudian memuncak pada perang Siffin berlanjut ke peristiwa tahkim antara kubu Ali da Mua’awiyah telah mendorong pemalsuan hadist. Dari berbagai motif pemalsuan hadist yang terjadi tersebut, dapat dipilah-pihah bahwa ada beberapa tujuan dalam pemalsuan hadist yang dilakukan : (1) membela dan mempertahankan aliran teologi, (2) membela kepentingan, (3) membela mazhab “Fiqh”, (4) memikat hati orang yang mendengarkan cerita yang dikemukakannya, (5) menjadikan orang lain lebih zahid, (6) menjadikan orang lain lebih rajin mengamalkan suatu ibadah tertentu, (7) menerangkan keutamaan, (8) mendapatkan hadiah uang dari orang yang digembirakan hatinya, (9) memberikan pengorbanan kepada seseorang dengan cara memakan makanan tertentu, (10) menerangkan keutamaan suku bangsa tertentu.[20]

Ciri Hadist Palsu : Problem Sanad dan Matan

Perbedaan antara hadist shahih dengan hadist palsu memang sangat tipis. Bahkan keduanya acapkali sulit dibedakan. Bahkan telah banyak hadist-hadist yang sebenarnya palsu, dianggap dan diyakini sebagai hadist shahih, sehingga dijadikan sebagai pegangan (sumber) ajaran.

Namun demikian, memilah hadist shahih dan palsu bukan berarti tidak bisa dilakukan. Para pakar hadist telah memberikan rambu-rambu yang dapat digunakan untuk memihak (menyeleksi) antara hadist shahih dan hadist yang dianggap palsu. Palsu dan tidaknya sebuah hadist, seperti yang ditulis oleh Dr. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, bisa dilihat dari dua aspek, yaitu aspek sanad dan aspek matan[21].

1. Aspek Sanad

  1. Perawi yang mengakui kedustaannya, seperti yang dilakukan oleh Abdul Karim al-Wadhdha’. Maka hadist-hadist yang diriwayatkan oleh orang ini layak dimasukkan dalam katagori hadist-hadist palsu.
  2. Seseorang yang meriwayatkan hadist dari seseorang yang tidak jelas sumbernya. Misalnya ia meriwayakan sebuah hadist dari seseorang yang tidak pernah ketema, sementara ia menggunakan redaksi yang menunjukkan bahwa ia mendengar dan menatap, atau meriwayatkan dari seorang guru di suatu tempat, padah ia belum pernah ke tempat itu, dan atau meriwayatkan dari seorang guru, padahal guru tersebut telah wafat sebelum ia lahir.
  3. Perawi yang memang dikenal sebagai pendusta dalam meriwayatkan suatu hadist, kemudian ia meriwayatkan hadist seorang diri, dan tidak ada perawi tsiqah yang meriwayatkannya

2. Apek Matan

a. Kejanggalan redaksi hadist yang diriwayatkan, apabila dirasa tidak mencerminkan sabda yang datang dari Nabi.

b. Kekacauan makna hadist. Misalnya hadist-hadist yang memiliki unsure dusta, karena tidak sesuai dengan akal sehat, seperti ungkapan yang berbunyi : “terong merupakan obat segala penyakit”

c. Bertentangan dengan teks-teks al-Qur’an dan Sunah

d. Setiap hadist yang mendakwakan kesepakatan sahabat untuk menyembunyikan sesuatu dan tidak menyebarkannya.

e. Hadist yang tidak memiliki relevansi dengan realitas histories pada masa Nabi.

f. Hadist yang memiliki keterkaitan erat dengan latar belakang seorang rawi, misalnya perawinya termasuk figure sangat ekstrem terhadap aliran tertentu.

g. Hadist tersebut memuan kandungan sesuatu yang luar biasa, tetapi hanya diriwayatkan oleh satu orang.

Re-Evaluasi Hadist : Mewaspadai Hadist Palsu

Pada bagian ini penulis menganggap penting untuk menjadikan masalah hadist palsu sebagai masalah yang serius untuk terus dikaji dan diteliti, karena tidak menutup kemungkinan hadist-hadist palsu masih tetap ada dan lepas dari penelitian yang telah dihasilkan oleh kalangan ulama hadist, terutama hadist-hadist yang memiliki kaitan dengan masalah keagamaan (fadla’ilul a’mal). Hadist-hadist semacam ini, sangat mengesankan memang berasal dari Nabi, karena menggunakan materi yang akrab dengan apa yang menjadi kecenderungan umat Islam, sehingga bisa jadi akan mudah dianggap sebagai hadist asli, padahal sebenarnya termasuk hadist palsu, tanpa sepengetahuan umat Islam.

Dalam konteks ini, untuk mengantisipasi kenyataan itu, menurut hemat penulis perlu dilakukan re-evaluasi terhadap posisi hadist yang terdapat dalam beberapa kitab hadist, termasuk dalam hadist yang dikumpulkan oleh imam Bukhari dan imam Muslim. Sebab, tidak menutup kemungkinan dalam kitab tersebut, masih terdapat hadist-hadist yang perlu mendapatkan koreksi dan penelitian lebih serius dari umat Islam. Artinya, sekalipun dalam kitab hadist Bukhari dan kitab Muslim diyakini sebagai kumpulan hadist paling sahih karena pendekatan penelitian yang dianggap lebih akurat dan berhati-hati, tetapi meletatkan keduanya sebagai hasil usaha manusia yang tidak menutup kemungkinan memunculkan kesalahan, layak terjadi.

Re-evaluasi secara kritis mutlak harus dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menyelamatkan hadist-hadist agar tetap searah dengan apa yang dikatakan, dilakukan dan yang ditetapkan oleh Rasulullah dan al-Qur’an. Re-evaluasi tersebut bisa dilakukan dalam beberapa hal penting :

Pertama, evaluasi kritis terhadap sanad dan rijalul hadist hadist. Aspek ini telah menjadi mainstream penelitian para ulama hadist, sehingga melahirkan klasifikasi bentuk hadist, baik sahih, dha’if, hasan dan lain sebagainya. Sanad dan rawil hadist tetap harus menjadi obyek kritik, terutama menyangkut latar belakang dan sosio cultural seorang periwayat hadist, karena tidak menutup kemungkinan seorang periwayat hadist yang sudah dinyatakan sebagai perawi tanpa cela oleh para ulama, masih menyisakan satu masalah serius yang harus dikaji lebih obyektif lagi, misalnya posisi Abu Hurairah sebagai salah seorang periwayat hadist yang cukup spektakuler. Sebab, dalam kemelut konfilik politik umat Islam pada masa-masa Mu’awiyah, Abu Hurairah dianggap menjadi salah seorang bagian penting dalam gerakan politik yang dilakukan oleh Mu’awiyah dan dianggap sebagai pereka-perekayasa hadist (palsu) untuk menyudutkan Ali, demi kepentingan kubu Mu’awiyah.[22]

Kedua, evaluasi terhadap matan (isi) hadist dan relevansinya dengan al-Qur’an. Apabila ada hadist yang isinya berlawanan denga apa yang dijelaskan dalam al-Qur’an harus diwaspadai dan dievalusi sekritis mungkin, karena tidak menutup kemungkinan ada materi hadist yang berlawanan dengan apa yang disampaikan oleh al-Qur’an. Artinya, sesahih apapun sebuah hadist, apabila tidak sejalan dengan isi yang ada dalam al-Qur’an keberadaannya harus tetap dipertimbangkan untuk tidak diterima, karena setiap (yang diduga) hadist yang tidak sejalan dengan kandungan al-Qur’an sudah bisa dipastikan bukan hadist yang sebenarnya, karena tidak mungkin Rasulullah akan bersabda dengan sabda yang melenceng jauh dari ketentuan al-Qur’an.

Penutup

Hadist palsu merupakan salah satu bagian yang telah mewacana dalam dunia hadist. Dalam setiap perbincangan hadist, masalah hadist palsu tetap menjadi sesuatu yang include di dalamnya, sehingga dibutuhkan ketelitian yang maksimal untuk memetakan antara hadist yang sahih dengan hadist yang palsu, seperti yang telah dijelaskan dalam makalah ini.

Dalam gambaran di atas, penulis dapat memberikan kesimpulan : Pertama, munculnya hadist palsu akibat perpecahan yang terjadi di tengah-tengah umat Islam, sehingga memotivasi setiap kelompok untuk memproduksi hadist-hadist yang tidak bersumber dari Rasulullah. Kedua, motif pemalsuan hadist berkisar antara kepentingan politik, teologi dan tasauf. Ketiga, bahwa agar tidak terjebak dengan hadist palsu perlu dilakukan evaluasi kritis terhadap hadist-hadist, terutama hadist-hadist yang dianggap bermasalah baik secara sanad maupun isi, sehingga hadist yang notabene menjadi sumber kedua hukum Islam tidak akan terkontaminasi dengan hal-hal yang tidak benar, perlu dilakukan upaya-upaya kritis terhadap semu hadist yang ada, walaupun telah diriwayatkan oleh seorang yang telah dianggap absah oleh para ulama hadist. Latar belakang dan kemampuan dalam meriwayatkan hadist yang berlebihan serta diyakini kurang mewakili dengan kondisi yang mengitarinya tetap harus dijadikan sebagai objek kaji dalam menyeleksi hadist.


DAFTAR PUSTAKA

Alwi Al-Maliki, Muhammad. al-Qawa’id al-Asasiyah fi Al-Musthalah l-Hadist, tt. tt. tt

‘Ajaj al-Khatib, Dr. Muhammad. Ushul al-Hadist Pokok-Pokok Ilmu Hadist . Jakarta, Media Pratama, 2007

Al-Mas’udi, Hafidz Hasan. Minhatul Muqhits fi Ilmi Musthalah al-Hadist. Surabaya, Maktabah, tt

Adnan Amal, Taufik Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an . Jakarta, Pustaka Alvabet, 2005

Assa’di, MA, Drs. Sa’dullah. Hadist-Hadist Sekte. Yogjakarta, Pustaka Pelajar, 1996

Juynboll, G.H.A. Kontroversi Hadist di Mesir [1890-1960], terjemah Ilyas Hasan. Bandung, Mizan, 1999

Rodli Makmun, M.Ag, Drs. H. Achmad. Sunni dan Kekuasaan Politik . Ponorogo, STAIN Ponorogo Press, 2006

Muhibbin, M.A, Hadist-Hadist Politik . Yogjakarta, Pustaka Pelajarah-Lesiska, 1996

Qadir Djailani, Abdul. Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam. Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1995

Zuhri, Prof. Dr. Muh. Hadist Nabi : Telaah Historis dan Metodologis. Yogjakarta, Tiara Wacana, 2003



[1] Prof. Dr. Muh. Zuhri, Hadist Nabi : Telaah Historis dan Metodologis (Yogjakarta, Tiara Wacana, 2003), hlm. ix

[2] Dua ulama hadist ini termasuk ulama yang secara tegas mengatakan bahwa kitab hadist yang meraka susun hanya memuat hadist-hadist sahih. Selain mereka, terdapat beberapa ulama hadist lain yang menulis hadist dengan metode yang digunakan oleh kedua ulama hadist tersebut, yaitu Sahih Abu ‘Awanah, Shahih Ibnu Khuzaimah (w. 311 H), Shahih ibn Hibban (w. 254). Lihat. Ibid. hlm. 61

[3] Lihat. G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadist di Mesir [1890-1960], terjemah Ilyas Hasan (Bandung, Mizan, 1999), hlm. 70-71

[4] Ibid. hlm. 72

[5] www.pdmbontang.com. Didownload, 26 september 2008

[6] Lihat. Muhammad Aliwi Al-Maliki, al-Qawa’id al-Asasiyah fi Al-Musthalah l-Hadist, (tempat, penerbit & tahun terbit tidak terlacak), hlm. 56

[7] Hafidz Hasan al-Mas’udi, Minhatul Muqhits fi Ilmi Musthalah al-Hadist (Surabaya, Maktabah, tahun tidak tertulis), hlm. 27

[8] Masih menjadi perdebatan tentang siapa sebenarnya yang telah memulai menuliskannya al-Qur’an, ada yang menyebutkan pada masa Khalifah Abu Bakar telah mulai ditulis yang dilakukan oleh Zayd bin Tsabit, yang secara otomatis pembukuan al-Qur’an telah dimulai sejak masa Khalifah Abu Bakar, tetapi ada juga yang menyebutkan bahwa Khalifah Umar yang telah memulai rencana pembukuan al-Qur’an tersebut. Lihat. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an (Jakarta, Pustaka Alvabet, 2005), hlm. 164-176

[9] Semua ulama sepakat bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz merupakan orang pertama yang memerintahkan pembuatan daftar hadist secara resmin. Tetapi menurut Muhammad Ajjaj al-Khatib tidak demikian adanya, ia berpendapat bahwa berdasarkan teks yang terdapat dalam Ibn Sa’d, dia berpendapat bahwa Gubernur Mesir, ‘Abdul ‘Aziz bin Marwan, sebelum 75 Hijriyah telah memberikan perintah kepada Katsir bin Murrah al-Hadhrami untuk menulis semua hadist dari semua hadist dari semua sahabat yang dapat diperolehnya, kecuali hadist-hadist Abu Hurairah, karena Gubernur telah memilikinya. Lihat. G. H. A. Juynboll, lop. Cit. hlm. 28-29

[10] Prof. Dr. Muh. Zuhri, lop. cit. hlm. 27

[11] Lihat. Dalam G.H. A. Juynboll, lop.cit. hlm. 82

[12] Drs. H. Achmad Rodli Makmun, M.Ag, Sunni dan Kekuasaan Politik (Ponorogo, STAIN Ponorogo Press, 2006), hlm. 1

[13] Lihat. Drs. Muhibbin, M.A, Hadist-Hadist Politik (Yogjakarta, Pustaka Pelajarah-Lesiska, 1996), hlm. 80

[14] Lihat. Abdul Qadir Djailani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam (Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1995) hlm. 62-63

[15] Pada dasarnya yang menjadi dasar penolakan Mu’awiyah terhadap Ali, karena kubu Mu’awiyah menuntut peristiwa pembunuhan atas Khalifah Usman bin Affan dengan menggunakan argumentasi ayat Qur’an : Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami (Allah) telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya (Qs. Al-Isra’, 17 : 33). Lihat. Drs. Sa’dullah Assa’di, MA, Hadist-Hadist Sekte (Yogjakarta, Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 60

[16] Badri Khaeruddin, lop.cit. hlm. 49

[17] Drs. Sa’dullah Assa’di, M.A, Hadist-Hadist Sekte (Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 89-90

[18] Ibid. hlm. 90

[19] Prof. Dr. Muh. Zuhri, lop.cit. hlm. 72

[20] Sa’dullah Assa’di, lop.cit. hlm. 97

[21] Dr. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadist Pokok-Pokok Ilmu Hadist (Jakarta, Media Pratama, 2007), hlm. 368-371

[22] Lihat. G.H.A. Juynboll, lop. Cit. hlm. 141

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih atas komentar anda