Mohammad Suhaidi RB
Pengantar Awal
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) lahir tidak bebas nilai.[2] PMII lahir bukan hanya sebagai wadah gerakan mahasiswa nahdliyin, tetapi juga memiliki nilai-nilai kesejarahan yang sangat kuat dengan
Dalam konteks Indonesia, hanya PMII yang menjadi satu-satunya organisasi mahasiswa yang “berani” menyatakan diri sebagai organisasi yang memadukan antara nilai-nilai keislaman dengan nilai-nilai keindonesiaan. Bagi PMII, Islam adalah sebagai agama dan
PMII tidak mau menyatakan diri sebagai “PMI” (Pergerakan Mahasiswa Islam, tanpa
Dalam konteks ini, kehadiran PMII di muka bumi ini, membawa dua misi besar, yaitu membela nilai-nilai Islam dan membela nilai-nilai keindonesiaan. PMII merupakan wadah dimana dua nilai bersenyawa : antara lain nilai keislaman dan nilai keindonesiaan, yang tidak bisa dihilangkan. PMII bukanlah organisasi eksklusif (tertutup) dan bukan organisasi yang terjebak dengan logika kearaban (Arabisme), karena PMII menganut nilai-nilai keislaman, bukan nilai kearaban, sehingga dalam konteks Indonesia, PMII mencoba menghadirkan nilai-nilai keislaman (bukan nilai-nilai arab) dan nilai-nilai keindonesiaan yang mengental.[4]
Menjadi kader PMII, secara otomatis menjadi generasi
Embrionisasi Nasionalisme Ke-Indonesiaan
Akibat upaya nasionalisasi para pendiri bangsa ini, akhirnya negeri-negeri yang terpencar-terpencar tersebut bisa disatukan dalam satu nama bangsa
Terdapat beberapa pulau yang besar, antara lain pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Dalam konteks kesejarahan nusantara, Gajah Mada dikenal dengan Sumpah Palapa-nya. Sumpah tersebut merupakan puncak nasionalisme bagi Gajah Mada sekaligus pertaruhan besar untuk merangkai sebuah negeri dari berbagai negeri yang berkeping-keping. Sumpah Palapa diucapkan oleh Gajah Mada pada tahun 1331-1364, bersama Prabu Hayam Wuruk (1350-1389), yaitu janji prasetia untuk berpantang makan buah palapa sebelum seluruh kepulauan nusantara bisa takluk di bawah kekuasaan Negara.[7]
Nasionalisasi yang telah di cetuskan oleh Gajah Mada pada waktu itu, telah melahirkan gerakan persatuan yang dihelat pada 28 Oktober 1928, bahwa kesatuan Nusantara mendapatkan keputusan pada kongres Sumpah Pemuda di Jakarta menuju Indonesia Raya dengan berbangsa, bertumpah darah dan berbahasa Indonesia.[8] Sumpah Pemuda ini, pada gilirannya yang menjadi cikal bakal terwujudnya sebuah republik atau yang mashur yang nation state (Negara-bangsa)
Kolonialisasi di Indonesia
Sejak masih berstatus nusantara dan setelah menjadi nation satate,
Bahkan lebih jauh, Tan Malaka menulis bahwa salah seorang penulis buku Amerika pernah meramalkan, bahwa kalau suatu Negara, seperti Amerika ingin menguasai samudera dan dan dunia, ia harus merebut Indonesia lebih dulu sebagai sendi kekuasaannya.[11] Kondisi yang demikian telah tercium oleh bangsa-bangsa yang lain, sehingga berbagai upaya kolonialisasi dan imperialisasi dari sejumlah bangsa lain telah membuktikan tentang tesis tersebut. Beratus-ratus tahun bangsa
Penjajahan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Barat tersebut telah menjadi awal keterpurukan bangsa
Kedatangan Belanda masuk ke
Globalisasi telah menjadi raksasa kehidupan dunia yang tidak bisa dihindari. Globalisasi telah menggilas setiap ruang dan jarak antar Negara yang berjauahn sekaligus. Kemajuan teknologi informasi telah menjadi salah satu karya nyata persembahan globalisasi terhadap dunia. Bahkan, kemajuan teknologi dan informasi telah menjadi infrastruktur yang menopang gerakan globalisasi dan ekonomi neoliberal. Dengan kecanggihan teknologi, para pemilik modal besar, dengan mudah memindah modalnya dari satu Negara ke Negara yang lain.
Selain itu, sistem moneter dan pengetahuan juga dikuasai oleh para pemilik modal raksasa, terutama Negara-negara maju, sehingga mempersempit ruang gerak bagi Negara-negara berkembang, apalagi Negara yang miskin. Itulah salah satu aturan main yang terjadi di tengah globalisasi, dengan prinsip utama kapitalisasi yang mengakar.[13]
Dalam gerakan global, tidak ada lagi ruang bagi Negara berkembang, karena yang memiliki hak dominan adalah negara-negara kaya yang bermodal. Apalagi dalam konsep international division of labour teori world-system, Negara-negera dunia pertamalah yang yang menguasai system dunia sebagai Negara-negara pusat.[14] Sementara Negara-negara bekembang hanya dijadikan sebagai boneka dan bulan-bulanan oleh Negara-negara bermodal. Setiap kebijakan yang akan dilahirkan oleh Negara berkembang, tidak bisa melampaui kebijakan yang diatur oleh Negara pemodal.
Negara-negara berkembang, telah dijebak dengan kekuatan modal oleh Negara-negara besar, sehingga tidak bisa berbuat lebih dari apa yang telah ditentukan oleh Negara pemodal dalam berbagai aspek.
Negara-negara pusat ( pemodal) memainkan peran strategisnya dalam setiap perumusan aturan internasional melalui lembaga-lembaga internasional. Misalnya, ISO (International Standard Organization) yang menjadi salah satu aturan internasional dalam masalah perdagangan lintas Negara. Cara pandang penentuan aturan dalam ISO tentu saja mengacu pada cara pandang dunia pertama, yang tentu saja berbeda dengan cara pandang Negara-negara berkembang yang banyak merugikan negara dunia ketiga yang cenderung menghadapkan Negara dunia ketiga pada hukum besi mekanisme pasar.[15] Bahkan beberapa lembaga internasional dibentuk oleh Negara-negara besar sebagai amunisi untuk menjebak Negara-negara lemah. Institusi seperti PBB, WTO (World Trade Organization), IMF (International Monetary Fund), dan institusi regional, seperti Uni Eropa dan NAFTA (North America Free Trade Agreement). Institusi itulah yang menciptakan aturan main politik skala global, terutama yang menyangkut isu-isu perdagangan dan keamanan inernasional. Perkembangan politik internasional telah menggerogoti batas-batas teritori Negara, sehingga potensial untuk memunculkan rezim internasional yang berpengaruh dalam menentukan masa depan Negara-negara lain. Dampaknya, peran Negara atas warganya sendiri semakin kecil, digantikan oleh rezim global yang mampu menggerakkan struktur sosial dan politik sebuah Negara.[16]
Globalisasi dan kapitalisasi juga telah melahirkan hegemoni berlebihan Negara-negara adi kuasa. Propaganda tentang pasar bebas yang dikampanyekan oleh Negara-negara kaya telah membuahkan hasil.
Pasar Bebas dan kebijakan lainnya yang dikampanyekan oleh Negara-negara kaya, pada dasarnya adalah upaya untuk menghegemoni Negara-negara berkembang sekaligus sebagai aktualisasi dari ajaran kapitalisme yang mereka anut. Kapitalisasi yang menjadi agenda besar negara-negara kaya, tidak lebih hanya bagian dari imperialisasi
Mereka telah menyerahkan kemerdekaannya terhadap Negara lain, sehingga kemedekaan yang sepenuhnya tidak lagi dimiliki. Apa yang pernah dicetuskan oleh Tan Malaka, agar kita memiliki kemerdekaan sepenuhnya, telah raib, karena kita telah memilih negociated independence.
Bahkan posisi
Catatan Penutup : Hidupkan Nasionalisme Gajah Mada
Gambaran sekilas di atas merupakan peta memprihatinkan tentang gerakan global, dimana Negara-negara berkembang, seperti
Sebagai bagian dari
Sumpah Palapa ala Gajah Mada perlu dihidupkan kembali dengan format dan model yang lain guna (tetap) mempertahankan jati diri bangsa
PMII harus bisa mewaspadai dan setiap gerakan globalisasi serta berupaya dengan sekuat tenaga menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dengan sepenuhnya dan memiliki kedaulatan yang kaffah, karena itulah yang menjadi prinsip dasar Gajah Mada pada saat ia bertekad untuk menyatukan nusantara dalam satu ikatan Negara besar sebagai cikal bakal Republik Indonesia. Oleh karena itu, posisi PMII sebagai class of struggle (kelas pejuang), yang menempatkan bangsa
[1] Disampaikan dalam Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA) PMII Komisariat STKIP-PGRI Sumenep, 12-14 Desember 2008
[2] Tentang kelahiran PMII, lihat Fauzan Alfas, PMII dalam Simpul-Simpul Sejarah Perjuangan (
[3] PMII harus dipandang sebagai invidu-invidu yang otonom dan mempunyai kebebasan untuk berfikir serta mengambil peranan sesuai dengan kecenderungan dan otoritas diri yang dimiliki. Sehingga, PMII akan dimaknai sebagai tempat berkumpulnya individu-individu yang merdeka dan independen. Lihat. Muh. Hanif Dhakhiri-Zaini Rahman, Post-Tradisionalisme Islam ; Menyingkap Corak Pemikiran dan Gerakan PMII (
[4] Membela NKRI telah menjadi prinsip dasar PMII. Salah satu motivasi kelahiran PMII pada 17 April 1960, adalah memanifestasikan nasionalisme sebagai semangat kebangsaan, karenanya nama
[5] Dr. Purwadi, M.Hum, Jejak Nasionalisme Gajah Mada : Refleksi Perpolitikan dan Kenegaraan Majapahit untuk Masa Depan
[6] Ibid. hlm. 12
[7] M. Kholid Syeirazi, “The Death of Nationalisme? Problem dan Tantanganya Bagi Paham Kebangsaan
[8] Ibid. hlm. 247
[9] M. Hasanuddin Wahid, dkk, Multi Level Strategi Gerakan PMII (
[10] Tan Malaka, Madilog (Jakarta, Pusat Data Indikator, 1999), hlm. 25
[11] Ibid. hlm. 25
[12] Lihat. Majalah Tradem, hlm. 24
[13] Perang nuklir juga merupakan akibat global yang tidak bisa dipisahkan. Menurut Anthony Giddens, perang nuklir secara potensial adalah yang terdekat dan paling mengahncurkan diantara sekian bahaya global masa kini. Sejak 1980-qn telah diketahui bahwa aktivitas nuklir yang sangat kecil bisa membawa dampak yang sangat luas terhadap iklim dan lingkungan. Lihat. Anthony Giddens, Konsekuensi-KonsekuensiModernitas (
[14] M. Hasanuddin Wahid, dkk, op.cit. hlm. 9
[15] Ibid. hlm. 9-10
[16] Ibid. hlm. 13-14
[17] Anthony Giddens, Jalan Ketiga & Kritik-Kritiknya (
[18] M. Hasanuddin Wahid, op.cit. hlm. 14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih atas komentar anda