Jumat, 23 Januari 2009

Fiqih Keindonesiaan PMII

Mohammad Suhaidi RB


Pengantar Awal

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) lahir tidak bebas nilai.[2] PMII lahir bukan hanya sebagai wadah gerakan mahasiswa nahdliyin, tetapi juga memiliki nilai-nilai kesejarahan yang sangat kuat dengan Indonesia. PMII lahir bukan hanya untuk sekelompok golongan, tetapi memiliki tujuan universal untuk dan demi Indonesia. Pilihan nama PMII, pada dasarnya merupakan bukti bahwa PMII merupkan perpaduan dari berbagai karakter yang menyatu, meliputi karakter agresif (bergerak), kemahasiswaan (simbol kepemudaan), Islam (komitmen keberagamaan yang genuine dan substansial) serta Indonesia (sebagai bangunan dasar perjuangan kebangsaan PMII).[3]

Dalam konteks Indonesia, hanya PMII yang menjadi satu-satunya organisasi mahasiswa yang “berani” menyatakan diri sebagai organisasi yang memadukan antara nilai-nilai keislaman dengan nilai-nilai keindonesiaan. Bagi PMII, Islam adalah sebagai agama dan Indonesia dengan seperangkat sejarah dan kebudayaannya sebagai satu entitas yang harus bersenyawa dengan Islam. Artinya, PMII mencoba menghadirkan Islam dengan tetap mengacu pada nilai-nilai kesejarahan dan kebudayaan bangsa Indonesia.

PMII tidak mau menyatakan diri sebagai “PMI” (Pergerakan Mahasiswa Islam, tanpa Indonesia), karena nama itu cenderung mereduksi aspek kesejarahan dan kebudayaan bangsa Indonesia. Nama PMII dipilih karena PMII lahir dari rahim kebudayaan bangsa Indonesia, sehingga nilai-nilai keindonesiaan tetap tidak bisa dihilangkan dan akan (tetap) menjadi pijakan gerak PMII di tengah kontestasi peradaban dunia yang terus bergerak : saling mendominasi.

Dalam konteks ini, kehadiran PMII di muka bumi ini, membawa dua misi besar, yaitu membela nilai-nilai Islam dan membela nilai-nilai keindonesiaan. PMII merupakan wadah dimana dua nilai bersenyawa : antara lain nilai keislaman dan nilai keindonesiaan, yang tidak bisa dihilangkan. PMII bukanlah organisasi eksklusif (tertutup) dan bukan organisasi yang terjebak dengan logika kearaban (Arabisme), karena PMII menganut nilai-nilai keislaman, bukan nilai kearaban, sehingga dalam konteks Indonesia, PMII mencoba menghadirkan nilai-nilai keislaman (bukan nilai-nilai arab) dan nilai-nilai keindonesiaan yang mengental.[4]

Menjadi kader PMII, secara otomatis menjadi generasi Indonesia yang siap berbakti dan mengabdi untuk kejayaan Indonesia. Generasi Indonesia adalah generasi yang tidak pernah kehilangan nilai-nilai keindonesiaan yang telah ditanamkan oleh para pendiri bangsa ini. Sebab, membangun PMII sama halnya dengan membangun bangsa Indonesia. Generasi Indonesia yang sejati adalah generasi yang berjiwa Indonesia, yaitu berhati putih, dan berjiwa merah sebagai lambang keberanian : berani untuk dan demi Indonesia, sehingga menjadi generasi sejati haruslah mampu berinteraksi secara total dengan nilai-nilai keindonesiaan (baik nilai sejarah maupun nilai-nilai kebudayaan Indonesia. Dan, itulah salah satu ciri kader PMII yang kaffah, yaitu kader yang memahami kondisi Indonesia sejak awal sampai bagaimana memposisikan Indonesia di tengah pusaran global yang setiap waktu bisa berubah.

Embrionisasi Nasionalisme Ke-Indonesiaan

Indonesia adalah Negara yang besar. Indonesia terdiri dari pulau-pulau kecil yang menyemut. Indonesia menjadi bangsa yang besar tidak lepas dari upaya para pendahulu bangsa ini sebelum menjadi Indonesia, karena secara historis Indonesia diracik dari nasionalisasi yang sangat kental. Negeri ini pada awal Masehi sampai abad ke-13 merupakan negeri-negeri kecil yang terpisah-pisah diantara ribuan pulau-pulau kecil yang menyebar.[5]

Akibat upaya nasionalisasi para pendiri bangsa ini, akhirnya negeri-negeri yang terpencar-terpencar tersebut bisa disatukan dalam satu nama bangsa Indonesia. Oleh karena itu, salah satu jargon bangsa Indonesia yang selalu didoktrinkan kepada seluruh lapisan masyarakat sampai saat ini adalah : Bhinneka tunggal ika, yaitu berbeda-beda, tetapi tetap satu. Itulah Indonesia, yang dibangun dengan kekuatan nasionalisme yang memuncak.

Terdapat beberapa pulau yang besar, antara lain pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Di Pulau tersebut, telah berdiri kerajaan yang independen. Kemudian pada abad ke-13, muncullah ide untuk menyatukan negeri-negeri tersebut dalam satu Negara yang besar dan berdaulat. Gajah Mada adalah pencetus ide brilian dan menakjubkan itu[6]. Dengan komitmennya ia berjuang mewujudkan impian besarnya : menyatukan negeri-negeri yang independen dalam satu kesatuan yang kuat : akhirnya bernama Indonesia.

Dalam konteks kesejarahan nusantara, Gajah Mada dikenal dengan Sumpah Palapa-nya. Sumpah tersebut merupakan puncak nasionalisme bagi Gajah Mada sekaligus pertaruhan besar untuk merangkai sebuah negeri dari berbagai negeri yang berkeping-keping. Sumpah Palapa diucapkan oleh Gajah Mada pada tahun 1331-1364, bersama Prabu Hayam Wuruk (1350-1389), yaitu janji prasetia untuk berpantang makan buah palapa sebelum seluruh kepulauan nusantara bisa takluk di bawah kekuasaan Negara.[7]

Nasionalisasi yang telah di cetuskan oleh Gajah Mada pada waktu itu, telah melahirkan gerakan persatuan yang dihelat pada 28 Oktober 1928, bahwa kesatuan Nusantara mendapatkan keputusan pada kongres Sumpah Pemuda di Jakarta menuju Indonesia Raya dengan berbangsa, bertumpah darah dan berbahasa Indonesia.[8] Sumpah Pemuda ini, pada gilirannya yang menjadi cikal bakal terwujudnya sebuah republik atau yang mashur yang nation state (Negara-bangsa)

Kolonialisasi di Indonesia

Sejak masih berstatus nusantara dan setelah menjadi nation satate, Indonesia telah menjadi bagian dari pergolakan yang terjadi di belahan dunia. Hubungan dengan Negara lain yang telah terbangun dengan dunia luar, pada akhirnya membuat posisi Indonesia berada dalam incaran kaum kolonialis. Kedatangan Portugis, Spanyol, Belanda dan Ingris ke daerah bagian Nusantara merupakan akibat dari persaingan dagang dan politik antar negeri-negeri Eropa. Salah satunya persaingan antara Portugis dan Spanyol yang melahirkan perjanjian Tordessilas yang membelah dunia menjadi dua bagian dengan Eropa sebagai titik tengahnya, sementara bagian timur menjadi bagian Portugis dan sebelah barat diserahkan kepada Spanyol.[9]

Indonesia menjadi bagian dari Negara yang membuat bangsa lain tertarik. Kolonialisasi yang dilakukan kepada Indonesia, bukan tanpa alasan. Indonesia merupakan Negara primadona, selain karena faktor kekayaan alam Indonesia yang melimpah, letak Indonesia juga sangat strategis. Potensi tersebut dijelaskan oleh Tan Malaka dalam bukunya yang terkenal Madilog, menurutnya bahwa minyak di Sumatra, Kalimantan, dan Irian sudah tersohor di seluruh dunia. Bauksit dan alumunium, keduanya telah digunakan untuk membuat baja yang kuat, keras, sudah dikerjakan di Riau dan akan dikerjakan di Asahan. Benda perang seperti, timah, getah, dan kopra (untuk bom TNT yang maha dahsyat terbuat dari minyak kelapa), semua itu terdapat di Indonesia melebihi di dunia yang lain.[10]

Bahkan lebih jauh, Tan Malaka menulis bahwa salah seorang penulis buku Amerika pernah meramalkan, bahwa kalau suatu Negara, seperti Amerika ingin menguasai samudera dan dan dunia, ia harus merebut Indonesia lebih dulu sebagai sendi kekuasaannya.[11] Kondisi yang demikian telah tercium oleh bangsa-bangsa yang lain, sehingga berbagai upaya kolonialisasi dan imperialisasi dari sejumlah bangsa lain telah membuktikan tentang tesis tersebut. Beratus-ratus tahun bangsa Indonesia dijajah, dan beratus-ratus tahun pula kekayaan bangsa Indonesia di keruk oleh para penjajah. Busset!

Penjajahan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Barat tersebut telah menjadi awal keterpurukan bangsa Indonesia sebagai sebuah bangsa. Sebab, ideology kaum penjajah tetap tidak bisa dilepaskan dari upaya untuk mengerdili hak dan martabat bangsa yang di jajah. Mungkin karena berpuluh-puluh tahun berada dalam cengkeraman penjajah, - sampai saat ini - bangsa Indonesia masih kental dengan karakter keterjajahan : menjadi Negara yang bergantung dan “mau” diproteksi pada bangsa lain, terutama dalam aspek kebudayaan, politik dan ekonomi.

Kedatangan Belanda masuk ke Indonesia sejak tahun 1596 – Cornelis de Houtman di Banten - dan puncaknya terjadi pada saat VOC yang merupakan kongsi dagang pemerintah Belanda berada di Indonesia. VOC memulai kekejaman eksploitasinya sejak tahun 1602 di bawah komando Gubernur Jenderal Hindia Belanda, J.P. Coen, salah satu kebijakan eksploitatifnya ialah sistem tanam paksa. [12]

Indonesia di Tengah Gelombang Globalisasi Dunia

Globalisasi telah menjadi raksasa kehidupan dunia yang tidak bisa dihindari. Globalisasi telah menggilas setiap ruang dan jarak antar Negara yang berjauahn sekaligus. Kemajuan teknologi informasi telah menjadi salah satu karya nyata persembahan globalisasi terhadap dunia. Bahkan, kemajuan teknologi dan informasi telah menjadi infrastruktur yang menopang gerakan globalisasi dan ekonomi neoliberal. Dengan kecanggihan teknologi, para pemilik modal besar, dengan mudah memindah modalnya dari satu Negara ke Negara yang lain.

Selain itu, sistem moneter dan pengetahuan juga dikuasai oleh para pemilik modal raksasa, terutama Negara-negara maju, sehingga mempersempit ruang gerak bagi Negara-negara berkembang, apalagi Negara yang miskin. Itulah salah satu aturan main yang terjadi di tengah globalisasi, dengan prinsip utama kapitalisasi yang mengakar.[13]

Dalam gerakan global, tidak ada lagi ruang bagi Negara berkembang, karena yang memiliki hak dominan adalah negara-negara kaya yang bermodal. Apalagi dalam konsep international division of labour teori world-system, Negara-negera dunia pertamalah yang yang menguasai system dunia sebagai Negara-negara pusat.[14] Sementara Negara-negara bekembang hanya dijadikan sebagai boneka dan bulan-bulanan oleh Negara-negara bermodal. Setiap kebijakan yang akan dilahirkan oleh Negara berkembang, tidak bisa melampaui kebijakan yang diatur oleh Negara pemodal.

Negara-negara berkembang, telah dijebak dengan kekuatan modal oleh Negara-negara besar, sehingga tidak bisa berbuat lebih dari apa yang telah ditentukan oleh Negara pemodal dalam berbagai aspek. Dan, Indonesia tengah berada dalam posisi terkunci dalam gerak kenyataan global tersebut, sehingga kebijakannya, baik dalam skala nasional maupun internasional tetap tidak bisa dipisahkan dari aturan main yang telah ditentukan Negara-negara pemodal.

Negara-negara pusat ( pemodal) memainkan peran strategisnya dalam setiap perumusan aturan internasional melalui lembaga-lembaga internasional. Misalnya, ISO (International Standard Organization) yang menjadi salah satu aturan internasional dalam masalah perdagangan lintas Negara. Cara pandang penentuan aturan dalam ISO tentu saja mengacu pada cara pandang dunia pertama, yang tentu saja berbeda dengan cara pandang Negara-negara berkembang yang banyak merugikan negara dunia ketiga yang cenderung menghadapkan Negara dunia ketiga pada hukum besi mekanisme pasar.[15] Bahkan beberapa lembaga internasional dibentuk oleh Negara-negara besar sebagai amunisi untuk menjebak Negara-negara lemah. Institusi seperti PBB, WTO (World Trade Organization), IMF (International Monetary Fund), dan institusi regional, seperti Uni Eropa dan NAFTA (North America Free Trade Agreement). Institusi itulah yang menciptakan aturan main politik skala global, terutama yang menyangkut isu-isu perdagangan dan keamanan inernasional. Perkembangan politik internasional telah menggerogoti batas-batas teritori Negara, sehingga potensial untuk memunculkan rezim internasional yang berpengaruh dalam menentukan masa depan Negara-negara lain. Dampaknya, peran Negara atas warganya sendiri semakin kecil, digantikan oleh rezim global yang mampu menggerakkan struktur sosial dan politik sebuah Negara.[16]

Globalisasi dan kapitalisasi juga telah melahirkan hegemoni berlebihan Negara-negara adi kuasa. Propaganda tentang pasar bebas yang dikampanyekan oleh Negara-negara kaya telah membuahkan hasil. Indonesia termasuk Negara yang “berani” menerima keberadaan Pasar Bebas tersebut. Menerima pasar bebas berarti juga telah terikat dengan perjanjian dagang yang sangat mengikat, baik di level regional maupun internasional. Melalui intitusi internasional tersebut, Negara capital memainkan peran hegemoniknya, dengan cara memberikan pinjaman modal kepada Negara berkembang berdasarkan kesepakatan yang menguntungkan Negara pemimjam. Negara-negara capital membuat bank sentral global, seperti IMF yang memfasilitasi pinjaman luar negeri yang sangat besar.[17]

Pasar Bebas dan kebijakan lainnya yang dikampanyekan oleh Negara-negara kaya, pada dasarnya adalah upaya untuk menghegemoni Negara-negara berkembang sekaligus sebagai aktualisasi dari ajaran kapitalisme yang mereka anut. Kapitalisasi yang menjadi agenda besar negara-negara kaya, tidak lebih hanya bagian dari imperialisasi gaya baru terhadap bangsa lain, termasuk Indonesia. Karena setiap Negara yang menerima ajaran Negara-negara kaya tersebut sama halnya dengan telah menyerahkan dirinya untuk diperdaya.

Mereka telah menyerahkan kemerdekaannya terhadap Negara lain, sehingga kemedekaan yang sepenuhnya tidak lagi dimiliki. Apa yang pernah dicetuskan oleh Tan Malaka, agar kita memiliki kemerdekaan sepenuhnya, telah raib, karena kita telah memilih negociated independence. Indonesia telah tunduk pada hukum pasar global yang diproteksi oleh Negara-negara kapital, sehingga tidak memiliki kemerdekaan yang sepenuhnya.

Bahkan posisi Indonesia saat ini, tidak akan mungkin bisa terhindar dari proses politik internasional tersebut, aplagi dengan posisi geografis, Indonesia di kawasan Asia Pasifik yang strategis, baik secara politik maupun ekonomi. Tanpa kewaspadaan dan strategi jitu, Indonesia akan kehilangan banyak peran dan hanya akan menjadi actor kecil dalam pental dunia global, karena actor penting akan digantikan oleh kelompok non-negara (kalangan bisnis dan organisasi non profit). Meraka akan menjadi pemain utama dengan peran yang sangat strategis baik dalam level nasional maupun internasional.[18]

Catatan Penutup : Hidupkan Nasionalisme Gajah Mada

Gambaran sekilas di atas merupakan peta memprihatinkan tentang gerakan global, dimana Negara-negara berkembang, seperti Indonesia hanya dijadikan sebagai umpan untuk memenuhi ambisi hegmonik Negara-negara maju. Itulah penjajajahan gaya baru yang lebih halus dan sistematis. Kapitalisasi yang dianut oleh Negara-negara kaya, telah menjadi alat untuk menundukkan dan mempersempit ruang gerak Negara berkembang, baik secara ekonomi, politik dan budaya. Kemerdekaan yang menjadi hak setiap bangsa, telah terkendali secara perlahan oleh kekuataan Negara-negara besar.

Sebagai bagian dari Indonesia, PMII memiliki tanggung jawab yang besar untuk merespon kondisi Indonesia di tengah ancaman politik-ekonomi global ini. Ide dan aksi-aksi rasional PMII sangat dibutuhkan oleh bangsa ini, agar kembali menjadi bangsa yang berdaulat dan memiliki kemerdekaan yang penuh. Diam atas kondisi ini, bagi PMII sama halnya lari dari tanggungjawab dan membiarkan bangsa ini tercekik secara perlahan-lahan.

Sumpah Palapa ala Gajah Mada perlu dihidupkan kembali dengan format dan model yang lain guna (tetap) mempertahankan jati diri bangsa Indonesia. Sebab, dampak politik global sangat memungkinkan akan menciptakan konflik politik dalam negeri, salah satunya membelah NKRI. Upaya untuk membelah NKRI harus dijadikan sebagai musuh utama seluruh lapisan bangsa Indonesia, terutama PMII, karena NKRI adalah harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Setiap gerakan yang mencoba membelah NKRI merupakan upaya penjajahan yang harus dilawan dengan kekuatan penuh. Dan, globalisasi bisa saja hantu bagi eksistensi NKRI di masa-masa yang datang.

PMII harus bisa mewaspadai dan setiap gerakan globalisasi serta berupaya dengan sekuat tenaga menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dengan sepenuhnya dan memiliki kedaulatan yang kaffah, karena itulah yang menjadi prinsip dasar Gajah Mada pada saat ia bertekad untuk menyatukan nusantara dalam satu ikatan Negara besar sebagai cikal bakal Republik Indonesia. Oleh karena itu, posisi PMII sebagai class of struggle (kelas pejuang), yang menempatkan bangsa Indonesia sebagai obyek perjuangan. Artinya, perjuangan PMII hanya untuk kemajuan bangsa dan Negara, sehingga berjuang menjaga kehormatan dan kemerdekaan bangsa menjadi tugas wajib PMII.



[1] Disampaikan dalam Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA) PMII Komisariat STKIP-PGRI Sumenep, 12-14 Desember 2008

[2] Tentang kelahiran PMII, lihat Fauzan Alfas, PMII dalam Simpul-Simpul Sejarah Perjuangan (Jakarta, PB PMII, 2006)

[3] PMII harus dipandang sebagai invidu-invidu yang otonom dan mempunyai kebebasan untuk berfikir serta mengambil peranan sesuai dengan kecenderungan dan otoritas diri yang dimiliki. Sehingga, PMII akan dimaknai sebagai tempat berkumpulnya individu-individu yang merdeka dan independen. Lihat. Muh. Hanif Dhakhiri-Zaini Rahman, Post-Tradisionalisme Islam ; Menyingkap Corak Pemikiran dan Gerakan PMII (Jakarta, Isisindo Mediatama, 2000), hlm. 61

[4] Membela NKRI telah menjadi prinsip dasar PMII. Salah satu motivasi kelahiran PMII pada 17 April 1960, adalah memanifestasikan nasionalisme sebagai semangat kebangsaan, karenanya nama Indonesia harus tetap tercantum. Lihat. Dr. Ahmad Ali Riyadi, Dekonstruksi Tradisi Kaum Muda NU Merobek Tradisi (Jogjakarta, ar-Ruzz, 2007), hlm. 73

[5] Dr. Purwadi, M.Hum, Jejak Nasionalisme Gajah Mada : Refleksi Perpolitikan dan Kenegaraan Majapahit untuk Masa Depan Indonesia Baru (Jogjakarta, Diva Press,2004), hlm. 11

[6] Ibid. hlm. 12

[7] M. Kholid Syeirazi, “The Death of Nationalisme? Problem dan Tantanganya Bagi Paham Kebangsaan Indonesia dalam Majalah Tradem, edisi 5, April-Juli 2003, hlm. 71

[8] Ibid. hlm. 247

[9] M. Hasanuddin Wahid, dkk, Multi Level Strategi Gerakan PMII (Jakarta, PB PMII, 2006) hlm. 8

[10] Tan Malaka, Madilog (Jakarta, Pusat Data Indikator, 1999), hlm. 25

[11] Ibid. hlm. 25

[12] Lihat. Majalah Tradem, hlm. 24

[13] Perang nuklir juga merupakan akibat global yang tidak bisa dipisahkan. Menurut Anthony Giddens, perang nuklir secara potensial adalah yang terdekat dan paling mengahncurkan diantara sekian bahaya global masa kini. Sejak 1980-qn telah diketahui bahwa aktivitas nuklir yang sangat kecil bisa membawa dampak yang sangat luas terhadap iklim dan lingkungan. Lihat. Anthony Giddens, Konsekuensi-KonsekuensiModernitas (Jogjakarta, Kreasi Wacana, 2005), hlm. 166

[14] M. Hasanuddin Wahid, dkk, op.cit. hlm. 9

[15] Ibid. hlm. 9-10

[16] Ibid. hlm. 13-14

[17] Anthony Giddens, Jalan Ketiga & Kritik-Kritiknya (Jogjakarta, IRCiSoD, 2003), hlm.128

[18] M. Hasanuddin Wahid, op.cit. hlm. 14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih atas komentar anda